Selasa, 03 Mei 2016

Tafsir Ambisi

Membicarakan ambisi, ingatan saya mendadak terpelanting tujuh tahun silam, tepatnya di penghujung Februari 2010. Hari penuh berkah, saat itu—untuk pertama kalinya—saya di pertemukan landscape kehidupan yang benar-benar berbeda. Hidup di tengah, kalau boleh saya simpulkan, keterasingan! Namun begitu di tempat yang tengah saya bicarakan ini, saya di pertemukan dengan pergumulan penuh kedisiplinan, semangat, ketekunan dan yang pasti, ambisi. Untuk yang disebutkan terakhir, saya bisa memastikan, segenap nisan dalam pandangan saya waktu itu, sepakat jika ‘ambisi’ telah menjadi, semacam, aouto sugesti  bagi keberhasilan mereka. Pengalaman ini saya temukan sewaktu memasuki sekat kehidupan terluar: pondok pesantren. 
Pada intinya mereka, insan (baca: santri) pesantren, mempunyai pranata tersendiri dalam mewujudkan kehendak, tujuan atau dalam bahasa mereka, hajat. Pranata yang mereka gunakan tidak lain semacam diktum dan atau doktrin yang disampaikan senior-senior mereka, yang dalam hal ini berarti ustadz atau bahkan kiai. Namun begitu, gejolak ambisi yang mereka tanam tidak lepas tanpa kontrol. Terdapat beberapa tahapan sebelum benar-benar melakoni narasi perjuangan, dalam konteks mereka berarti proses belajar (tolab al-ilmi, Arb.; menuntut ilmu, Ind.). Tahapan ini berupa niat yang benar, ikhtiar dan baru kemudian, menanamkan ambisi. 
Diawali dengan ‘niat’, telah mafhum tahapan ini merupakan pondasi paling mendasar dalam melakoni pelbagai kebaikan. Sederhananya, niat semacam conter dalam mengarungi proses perjuangan, agar tak terpeleset atau bahkan salah arah. Disini, saya tidak akan berkutat dengan dalil-dalil dogmatis dalam menguraikan esensi niat.  Namun yang lebih prinsipil, bagaimana mejalani ‘kehendak’ sesuai niat yang benar.

(Baca juga: Belenggu Ngunduh Mantu)
 
Jika niat adalah pondasi awal, maka ikhtiar adalah proses melanjutkan kerangka dari pondasi menjadi sebuah bangunan. Kerangka ini, dalam takaran insan pesantren, berupa keberhasilan dalam menuntut ilmu. Sementara ‘ambisi’ sebagai pemompa dalam mewujudkan niat, yang ketiganya saling bertautan satu sama lain.  
***
Rentetan alur (prinsip) serupa, mendadak kembali hadir namun dengan narasi berbeda. Jika tujuh tahun silam saya menyaksikan prinsip hidup yang pasti: dari niat, ikhtiar (usaha), hingga memendam ambisi. Namun kini, sebuah proses menjadi silang-sengkarut, betapa kerancuan antara niat, usaha (ikhtiar) dan ambisi, tak berjalan sebagaimana mestinya. Terkadang mempunyai niat baik, tapi tanpa ada usaha, jadi percuma. Dan bahkan sebaliknya, terus berusaha tapi tanpa ada niat tulus, jadi sia-sia. Yang lebih membingungkan, sebagaimana yang pernah saya alami, memendam ambisi berlebih namun tanpa niat dan usaha. 
Dalam takaran ini, kita dapat menyaksikan tindak-tanduk sang empunya kebijakan. Banyak di antara mereka—dalam kesimpulan sederhana—rela merogoh kocek dalam-dalam, lobi sana-sini, dengan satu tujuan: “jabatan tertentu”. Namun malangnya, menjelang masa purna tugas, bukannya menyuguhkan prestasi atau capaian terbaik, tapi malah terbelenggu istilah sentimental, misalnya ‘papa minta saham’ atau ‘jatah semangka separoh’. Bagi saya, tontonan ini semaca timbal-balik antara ambisi berlebih dan niat tak tulus. Yang pada intinya, berniat mewujudkan ambisi pribadi dan disaat yang sama, mengorbankan nasib rakyat kebanyakan.
Dalam pada itu, mengekang ambisi terkadang malah menjadi benalu. Yang pada akhirnya, melahirkan momentum penuh ambisius: “persetubuhan nafsu”. Oleh karenanya, seorang bijak-bestari telah memberikan nasihat, upaya mewujudkan (hasil) paripurna tidak hanya di tentukan oleh seperangkat aturan, misalnya niat dengan do’a, usaha dan boleh juga, ber(ambisi). Nasihat ini, agaknya berusaha mengconter prilaku penuh ambisius, namun di saat yang sama tidak di sertai kemampuan yang mumpuni. Hal ini hanya sebatas penafsiran, bisa jadi realita terjadi sebaliknya, punya kemampuan namun tidak berhasrat menggapai hasil paripurna.  
"upaya mewujudkan (hasil) paripurna tidak hanya di tentukan oleh seperangkat aturan, misalnya niat dengan do’a, usaha dan boleh juga, ber(ambisi)". nasihat bijak-bestari

Jalâl ad-Dīn 'Abd ar-Rahman as-Suyuti, seorang pakar semantik Arab dalam kajiannya yang begitu eksak: ilm al-badi’ (rhetoric), jauh-jauh hari telah mengingatkan mengenai gejalan ini. Dengan luwes dan gamblang, beliau menafsiri pelbagai persoalan diantaranya, tentang badi irshod. As-Suyuti mengutip sepenggal syair, dari ontologi ‘Amr bin Makdikariba, demikian: 
“Ketika engkau tak mampu melakukan sesuatu (pekerjaan), tinggalkanlah #
beralilah pada pekerjaan yang dapat engkau lakukan”.
Dalam menghadirkan contoh atau narasi, as-Suyuti dan juga penulis buku-buku dengan tema serupa, telah menempati—dalam tafsiran saya—dua posisi berbeda. Pertama, sudah tentu sebagai contoh ideal dari term itu sendiri dan kedua, menyimpan pesan tersirat; berupa kritik, motivasi dan bahkan, nasihat. Terlepas dari semua itu, sepenggal syair di atas—disadari atau tidak—sebenarnya telah mengingatkan para pembacanya, adakalanya ‘ambisi’ harus di kekang, berdasarkan pijakan, jika tidak mampu menjalaninya.
Pertama, sudah tentu sebagai contoh ideal dari term itu sendiri dan kedua, menyimpan pesan tersirat; berupa kritik, motivasi dan bahkan, nasihat.

Pada akhirnya, kata ‘ambisi’ tidak lebih berupa polisemi. Pertama, ia dapat menyulut keberhasilan dan kedua, siap menelikung ke(berhasil)an siapapun. Dan untuk kali ini, benar juga ketika seorang kawan berkelekar, “Le, ambisi saja tidak cukup!”.

Tags :

bm

M. Achfas Afandi

Seo Construction

I like to make cool and creative designs. My design stash is always full of refreshing ideas. Feel free to take a look around my Vcard.

  • M. Achfas Afandi
  • Februari 24, 1989
  • 1220 Manado Trans Sulawesi
  • contact@example.com
  • +123 456 789 111

Posting Komentar