Tafsir Ambisi
Membicarakan ambisi, ingatan saya mendadak
terpelanting tujuh tahun silam, tepatnya di penghujung Februari 2010. Hari
penuh berkah, saat itu—untuk pertama kalinya—saya di pertemukan landscape
kehidupan yang benar-benar berbeda. Hidup di tengah, kalau boleh saya
simpulkan, keterasingan! Namun begitu di tempat yang tengah saya bicarakan ini,
saya di pertemukan dengan pergumulan penuh kedisiplinan, semangat, ketekunan
dan yang pasti, ambisi. Untuk yang disebutkan terakhir, saya bisa memastikan,
segenap nisan dalam pandangan saya waktu itu, sepakat jika ‘ambisi’ telah menjadi,
semacam, aouto sugesti bagi keberhasilan
mereka. Pengalaman ini saya temukan sewaktu memasuki sekat kehidupan terluar:
pondok pesantren.
Pada intinya mereka, insan (baca: santri) pesantren,
mempunyai pranata tersendiri dalam mewujudkan kehendak, tujuan atau dalam
bahasa mereka, hajat. Pranata yang mereka gunakan tidak lain semacam
diktum dan atau doktrin yang disampaikan senior-senior mereka, yang dalam hal
ini berarti ustadz atau bahkan kiai. Namun begitu, gejolak ambisi yang mereka
tanam tidak lepas tanpa kontrol. Terdapat beberapa tahapan sebelum benar-benar
melakoni narasi perjuangan, dalam konteks mereka berarti proses belajar (tolab
al-ilmi, Arb.; menuntut ilmu, Ind.). Tahapan ini berupa niat yang benar,
ikhtiar dan baru kemudian, menanamkan ambisi.
Diawali dengan ‘niat’, telah mafhum tahapan ini
merupakan pondasi paling mendasar dalam melakoni pelbagai kebaikan.
Sederhananya, niat semacam conter dalam mengarungi proses perjuangan, agar tak
terpeleset atau bahkan salah arah. Disini, saya tidak akan berkutat dengan
dalil-dalil dogmatis dalam menguraikan esensi niat. Namun yang lebih prinsipil, bagaimana mejalani
‘kehendak’ sesuai niat yang benar.
Jika niat adalah pondasi awal, maka ikhtiar adalah
proses melanjutkan kerangka dari pondasi menjadi sebuah bangunan. Kerangka ini,
dalam takaran insan pesantren, berupa keberhasilan dalam menuntut ilmu.
Sementara ‘ambisi’ sebagai pemompa dalam mewujudkan niat, yang ketiganya saling
bertautan satu sama lain.
***
Rentetan alur (prinsip) serupa, mendadak kembali
hadir namun dengan narasi berbeda. Jika tujuh tahun silam saya menyaksikan
prinsip hidup yang pasti: dari niat, ikhtiar (usaha), hingga memendam ambisi.
Namun kini, sebuah proses menjadi silang-sengkarut, betapa kerancuan antara
niat, usaha (ikhtiar) dan ambisi, tak berjalan sebagaimana mestinya. Terkadang
mempunyai niat baik, tapi tanpa ada usaha, jadi percuma. Dan bahkan sebaliknya,
terus berusaha tapi tanpa ada niat tulus, jadi sia-sia. Yang lebih
membingungkan, sebagaimana yang pernah saya alami, memendam ambisi berlebih
namun tanpa niat dan usaha.
Dalam takaran ini, kita dapat menyaksikan
tindak-tanduk sang empunya kebijakan. Banyak di antara mereka—dalam kesimpulan
sederhana—rela merogoh kocek dalam-dalam, lobi sana-sini, dengan satu tujuan:
“jabatan tertentu”. Namun malangnya, menjelang masa purna tugas, bukannya
menyuguhkan prestasi atau capaian terbaik, tapi malah terbelenggu istilah
sentimental, misalnya ‘papa minta saham’ atau ‘jatah semangka separoh’. Bagi
saya, tontonan ini semaca timbal-balik antara ambisi berlebih dan niat tak
tulus. Yang pada intinya, berniat mewujudkan ambisi pribadi dan disaat yang
sama, mengorbankan nasib rakyat kebanyakan.
Dalam pada itu, mengekang ambisi terkadang malah
menjadi benalu. Yang pada akhirnya, melahirkan momentum penuh ambisius: “persetubuhan
nafsu”. Oleh karenanya, seorang bijak-bestari telah memberikan nasihat, upaya mewujudkan
(hasil) paripurna tidak hanya di tentukan oleh seperangkat aturan, misalnya
niat dengan do’a, usaha dan boleh juga, ber(ambisi). Nasihat ini, agaknya
berusaha mengconter prilaku penuh ambisius, namun di saat yang sama tidak di
sertai kemampuan yang mumpuni. Hal ini hanya sebatas penafsiran, bisa jadi realita
terjadi sebaliknya, punya kemampuan namun tidak berhasrat menggapai hasil
paripurna.
"upaya mewujudkan (hasil) paripurna tidak hanya di tentukan oleh seperangkat aturan, misalnya niat dengan do’a, usaha dan boleh juga, ber(ambisi)". nasihat bijak-bestari
Jalâl
ad-Dīn
'Abd ar-Rahman as-Suyuti,
seorang pakar semantik Arab dalam kajiannya yang begitu eksak: ilm al-badi’
(rhetoric), jauh-jauh hari telah mengingatkan mengenai gejalan ini. Dengan
luwes dan gamblang, beliau menafsiri pelbagai persoalan diantaranya, tentang badi
irshod. As-Suyuti mengutip sepenggal syair, dari ontologi ‘Amr bin Makdikariba,
demikian:
“Ketika engkau tak mampu
melakukan sesuatu (pekerjaan), tinggalkanlah #
beralilah pada pekerjaan yang dapat engkau lakukan”.
beralilah pada pekerjaan yang dapat engkau lakukan”.
Dalam menghadirkan contoh atau narasi, as-Suyuti dan juga penulis buku-buku dengan tema
serupa, telah menempati—dalam tafsiran saya—dua posisi berbeda. Pertama,
sudah tentu sebagai contoh ideal dari term itu sendiri dan kedua,
menyimpan pesan tersirat; berupa kritik, motivasi dan bahkan, nasihat. Terlepas
dari semua itu, sepenggal syair di atas—disadari atau tidak—sebenarnya telah
mengingatkan para pembacanya, adakalanya ‘ambisi’ harus di kekang, berdasarkan pijakan,
jika tidak mampu menjalaninya.
Pertama, sudah tentu sebagai contoh ideal dari term itu sendiri dan kedua, menyimpan pesan tersirat; berupa kritik, motivasi dan bahkan, nasihat.
Pada akhirnya, kata ‘ambisi’ tidak lebih berupa polisemi. Pertama, ia dapat menyulut keberhasilan dan kedua, siap
menelikung ke(berhasil)an siapapun. Dan untuk kali ini, benar juga ketika
seorang kawan berkelekar, “Le, ambisi saja tidak cukup!”.
![bm](http://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYdMJK070sp6VJDQXsvtoeyuSgjkP4KwJI5bim86Do7veXJha3Kk0v6kvTwJEDHyq4cpj1Ztw9PU2l0aPxMccQ_3lEqmPzmUCt2PB1knqZyGtAo80_-YT7DRq8tsd9Yw/s220/foto+qu.jpg)
M. Achfas Afandi
Seo Construction
I like to make cool and creative designs. My design stash is always full of refreshing ideas. Feel free to take a look around my Vcard.
- M. Achfas Afandi
- Februari 24, 1989
- 1220 Manado Trans Sulawesi
- contact@example.com
- +123 456 789 111
Posting Komentar