Minggu, 10 November 2019

Al-Matnus Syarif, Kitab Fiqih Karya Syaikhona Kholil Bangkalan

Al-Matnus Syarif, Kitab Fiqih Karya Syaikhona Kholil Bangkalan


Selama ini, keberagaman penulisan kitab kuning setidaknya berada dalam tiga lingkaran. Pertama, hadir kitab kuning bercorak matan (inti), yang merespon pelbagai masalah keagamaan relatif singkat dan padat. Dan ada pula, narasi penulisan yang berupa syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir). Perbedaan paling mendasar, jika yang pertama menghadirkan tema-tema (tuntutan) keagamaan, baik berupa kewajiban personal atau bahkan kolektif langsung pada intinya. Sementara dua bagian terakhir, merupakan kelanjutan dari yang pertama, setidaknya dalam merespon tema dan atau persoalan yang sama. Pada bagian ini, umumnya membahas tema tertentu dengan demikian luas serta ketebalan berjilid-jilid.

Selasa, 05 November 2019

Maulid dalam Implementasi Kultural

Maulid dalam Implementasi Kultural

Maulid nabi adalah momen kebangkitan. Seperti momen (baca: ritual) keagamaan pada umumnya, momen satu ini telah mengajarkan tentang kepasrahan, nasihat dan yang lebih penting—termasuk yang membedakan dengan lainnya—mengajarkan keteladanan antara ‘kita’ sebagai umat dan ‘dia’ sebagai pemberi syafaat. Pemahaman ini bukan saja berdasarkan dalil yang terbentang luas, tapi yang tidak bisa diabaikan adalah, dalam maulid kita di ajarkan untuk saling mengasihi, mengenal, dan mejaga kerukunan antar sesama. 

Kamis, 11 Juli 2019

Islam Indonesia: Inspirasi Bagi Perdamaian Dunia

Islam Indonesia: Inspirasi Bagi Perdamaian Dunia


“Kita perlu memperkenalkan ke publik Jerman, corak dan warna Islam yang lain. Islam tidak identik dengan etnis tertentu. Islam yang dipraktikkan masyarakat Indonesia adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu menjadi pelopor toleransi di tengah ratusan kelompok etnis atas suku bangsa yang sangat beragam”.

Selasa, 25 Juni 2019

Islam dan Revisitasi Makna Persatuan

Islam dan Revisitasi Makna Persatuan

Isu tentang persatuan dan kesatuan, belakangan menjadi salah satu topik yang cukup populer, setidaknya dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir. Fenomena ini—disadari atau tidak—buntut dari ketegangan-ketegangan (tensions) yang terus mengemuka, lebih lagi ketika bersinggungan dengan paham keagamaan dan representasi politik. Bisa dipastikan, persoalan yang sepele sekalipun bakal berbuntut panjang.

Kecenderungan tersebut kian nyata manakala masyarakat mudah tersulut isu-isu murahan, yang—sampai sejauh ini—kerap kali tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Beruntung, sejatinya kita punya pengalaman mengatasi persoalan ini, yakni dengan merawat nilai-nilai persatuan dan persaudaraan antar sesama. Dalam Islam sendiri, keduanya di yakini menjadi salah satu instrument penting dalam menampilkan wajah Islam yang sebenarnya: santun, ramah, dan tidak marah-marah.

Oleh karena itu, sebagai agama rahmat bagi semesta, Islam telah merumuskan bagaimana merawat simpul-simpul kebinekaan ini agar lebih mudah dipahami. Tujuannya tak lain, dapat mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dari dan untuk semua elemen masyarakat.

Persatuan dalam Islam
Menelusuri entitas persatuan dalam Islam, kita dapat menemukannya dalam beberapa sumber sekaligus, yang satu sama lain tentunya saling berkelindan. Dalam al-Qur’an, pesan ini tersirat dalam QS. Ali Imran [03]: 103 yang menegaskan, bahwa bagi segenap orang yang beriman di haruskan untuk berpegang pada tali Allah swt. dan untuk tidak tercerai-berai dalam persaudaraan. Dikalangan ulama (mufassir), ayat ini dipahami dengan beragam pengertian, sekaligus menyimpan makna yang berbeda (multitafsir).

Dalam Tafsir Al-Maturidi misalnya, sahabat Abd’ Allah Ibn Masud menafsiri kata “Hablu Allah” (tali Allah swt.) dengan makna persatuan (Al-Jama’ah), yang artinya berupa perintah untuk meneguhkan persatuan dan menjauhi perpecahan. Pendapat tersebut di kutip oleh beberapa ulama, misalnya, Abu Ja’far Al-Thabari (w. 310), Abu Hayyan Al-Andalusi (w. 745), dan Abu Hasan ibn Muhammad Al-Mawardi (w. 450).

Dalam komentarnya, Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333) menegaskan, keharusan menjaga persatuan karena tipikal seorang muslim (ahl al-Islam) tak lain dengan menjaga persatuan (al-Jama’ah), dan mencegah perpecahan. Hal ini selaras dengan pesan dalam QS. Al-An’am [06]: ayat 153, bahwa kita diharuskan mengikuti jalan yang lurus dan tidak sebaliknya, jalan yang dapat mencederai persatuan. Demikian ini perintah Allah swt. agar menjadi manusia yang bertakwa.

Komentar (syarh) yang lebih dialogis dapat ditemukan dalam—diantaranya—kitab Tafsir Al-Mawardi, bahwa larangan tercerai-berai antar sesama tidak lepas dari dua penafsiran: pertama, keharusan menjaga persatuan dalam meneguhkan (ajaran-ajaran) agama. Dan kedua, bersatu dalam meneladani pesan-pesan kenabian Muhammad saw. Penafsiran ini, berdasarkan artikulasi persatuan dalam konteks keberagamaan. Sementara dalam bingkai keindonesiaan lain lagi, yakni upaya merajut tenun kebangsaan dan merawat elan-elan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perbedaan penafsiran ini, tak lain lahir dari ekspresi pemikiran para ulama yang mendasarkan pada analisa dan kerangka berfikir yang berbeda, sehingga menghasilkan rumusan yang berbeda pula. Namun setidaknya mereka sepakat akan satu hal, bahwa perbedaan adalah benalu dalam mewujudkan persatuan dan persaudaraan. Menurut Syamsuddin Al-Qurtubi (w. 671), perbedaan yang tak di benarkan ialah yang berpotensi pada perpecahan dan kehancuran.

Komentar serupa di kemukakan oleh KH. Hasyim Asyari (w. 1366) dalam bukunya Al-Tibyan fi Al-Nahyi an Muqatha’ati Al-Arham wa Al-Aqarib wa Al-Ikhwan, bahwa perpecahan adalah faktor utama dari kelemahan, kekalahan dan kegagalan sepanjang zaman. Bahkan tidak hanya itu, potensi lain dari perpecahan ialah terjadinya chaos, yang merusak tatanan kehidupan berbangsa dan timbulannya kehancuran yang tak bisa di hindari.

Oleh karenanya, lanjut kiai Hasyim dalam Muqaddimah Qanun Al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, berapa banyak bangsa-bangsa besar yang hidup makmur, pembangunan merata, kemajuan terasa hingga pelosok negeri, dan pemerintahan berjalan dengan baik, tidak lain berkat terjalinnya persatuan dan kesatuan antar semua element masyarakat. Karenanya, sebagai bagian sunnatullah, manusia selalu hidup berdampingan dan berinteraksi dengan yang lainnya. Sehingga persatuan adalah sebuah keniscayaan!

Pada akhirnya, perbedaan agama, ras, bahasa, atau bahkan afiliasi (pilihan) politik, bukan lagi menjadi legitimasi untuk mengabaikan persatuan. Dan karenanya, Islam mewanti-wanti pentingnya menghargai perbedaan dan merawat persaudaraan. Dalam sepenggal hadis dlaif riwayat Al-Qadha’i ditegaskan, “Persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab”. Wallahu a’lam.

Artikel ini pertama kali dimuat di jalandamai(dot)org

Kamis, 02 Mei 2019

Gerakan #AyoHijrah, Upaya Bank Muamalat Sejahterakan Umat

Gerakan #AyoHijrah, Upaya Bank Muamalat Sejahterakan Umat


Suatu kali, kira-kira di pertengahan tahun 2008, adalah titik awal perkenalan saya dengan bank Muamalat. Kala itu, saya yang masih berstatus santri di salah-satu pesantren di kota Kediri, memang diharuskan membuat kartu identitas, yang kebetulan dalam penerbitannya, pihak pesantren telah menjalin kerjasama dengan bank Muamalat.

Jumat, 19 April 2019

Cara Pintar Berbagi di Era Digital

Cara Pintar Berbagi di Era Digital


Pada hakikatnya berbagi bisa kapan dan di mana saja, apalagi sekarang hidup di era digital, pastinya untuk urusan satu ini semakin di mudahkan, dari dan untuk siapapun. Semangat untuk berbagi ini, tidak lain luapan—meminjam ungkapan Ali Ahmad Al-Jurjani dalam kitab Tarikh al-Tasyri’ wa Falsafatuhu­—dari upaya menjauhi tindakan terlampau hemat (kikir/lokek) dan mewujudkan kesejahteraan umat (Al-Bu’du an al-Bukhl wa Iradah Islah al-Ummah).   

Kamis, 06 Desember 2018

Imam Syafi'i dan Syair Penggugah Jiwa

Imam Syafi'i dan Syair Penggugah Jiwa

 
Untaian bait-bait syair berikut ini, kalau tidak salah, gubahan Imam Syafi’I ra., yang begitu menggugah jiwa dan memotivasi siapapun yang tengah di rundung pilu dan terkungkung dalam kegalauan hidup. Oleh karena itu, saya sengaja menuliskan syair-syair ini, barangkali suatu saat perlu mengingatnya kembali.

بقدر الكـد تكتسب المعالى # فمن طلب العلى سهر الّيالى
Derajat mulia diukur berdasarkan usahanya # Siapapun yang hendak menggapainya, maka bersiaplah (di malam hari) untuk selalu terjaga

ترُومُ العِــزّ ثم تَنامُ لَيـلا # يغوصُ البحْر من طَلَب اللآلي
Engkau mengharapkan kemuliaan, sementara di malam hari (hanya)
dihabiskan untuk tidur! # Ingatlah (anak muda), untuk mendapatkan mutiara
harus menyelam hingga dasar lautan

علو الكعب بالهمم العوالي #  وعز المرء في سهر الليالي
Luhurnya derajat/kedudukan, karena tujuan yang mulia # Dan kemuliaan (derajat) seseorang, karena ia terjaga (untuk beribdah dan belajar) di waktu malam

فلا تفرغ من الاهوال يوما # اذا كنت في طلب المعالى
Jangan membuat harimu dengan kehawatiran/ketakutan #
Jika engkau hendak meraih derajat mulia/terhormat

ومَنْ رامَ العُلى مِن غَيرِكَـدٍّ  # أضَاعَ العُمرَ في طَـلَبِ المُحَالِ
Seorang yang mengharapkan derajat mulia, sementara ia tidak (mau) berusaha #
Celakalah! Sesungguhnya usianya telah terbuang sia-sia, untuk meraih sesuatu yang mustahil.

Catatan:
Dikutip dari kitab Ahla Al-Musamirah fi Hikayat Al-Aulia Al-Ashrah  Karya Al-Syaikh Al-Alim Al-Fadhil Abi Fadhal Al-Senari (Tuban, Jawa Timur)



Selasa, 26 September 2017

Berhijrah Sebelum Terlambat

Berhijrah Sebelum Terlambat




Bagi umat Islam, bulan Muharram telah menyisahkan banyak memoar dalam ingatan. Berbagai peristiwa penting terjadi di bulan ini, peristiwa-peristiwa itu tak hanya menyisahkan kesan mendalam. Lebih dari itu, Rasulullah Saw. mewanti-wanti akan keutamaan bulan satu ini lewat pesan-pesan profetik beliau.

Selasa, 03 Mei 2016

Tafsir Ambisi

Tafsir Ambisi

Membicarakan ambisi, ingatan saya mendadak terpelanting tujuh tahun silam, tepatnya di penghujung Februari 2010. Hari penuh berkah, saat itu—untuk pertama kalinya—saya di pertemukan landscape kehidupan yang benar-benar berbeda. Hidup di tengah, kalau boleh saya simpulkan, keterasingan! Namun begitu di tempat yang tengah saya bicarakan ini, saya di pertemukan dengan pergumulan penuh kedisiplinan, semangat, ketekunan dan yang pasti, ambisi. Untuk yang disebutkan terakhir, saya bisa memastikan, segenap nisan dalam pandangan saya waktu itu, sepakat jika ‘ambisi’ telah menjadi, semacam, aouto sugesti  bagi keberhasilan mereka. Pengalaman ini saya temukan sewaktu memasuki sekat kehidupan terluar: pondok pesantren. 
Pada intinya mereka, insan (baca: santri) pesantren, mempunyai pranata tersendiri dalam mewujudkan kehendak, tujuan atau dalam bahasa mereka, hajat. Pranata yang mereka gunakan tidak lain semacam diktum dan atau doktrin yang disampaikan senior-senior mereka, yang dalam hal ini berarti ustadz atau bahkan kiai. Namun begitu, gejolak ambisi yang mereka tanam tidak lepas tanpa kontrol. Terdapat beberapa tahapan sebelum benar-benar melakoni narasi perjuangan, dalam konteks mereka berarti proses belajar (tolab al-ilmi, Arb.; menuntut ilmu, Ind.). Tahapan ini berupa niat yang benar, ikhtiar dan baru kemudian, menanamkan ambisi. 
Diawali dengan ‘niat’, telah mafhum tahapan ini merupakan pondasi paling mendasar dalam melakoni pelbagai kebaikan. Sederhananya, niat semacam conter dalam mengarungi proses perjuangan, agar tak terpeleset atau bahkan salah arah. Disini, saya tidak akan berkutat dengan dalil-dalil dogmatis dalam menguraikan esensi niat.  Namun yang lebih prinsipil, bagaimana mejalani ‘kehendak’ sesuai niat yang benar.

(Baca juga: Belenggu Ngunduh Mantu)
 
Jika niat adalah pondasi awal, maka ikhtiar adalah proses melanjutkan kerangka dari pondasi menjadi sebuah bangunan. Kerangka ini, dalam takaran insan pesantren, berupa keberhasilan dalam menuntut ilmu. Sementara ‘ambisi’ sebagai pemompa dalam mewujudkan niat, yang ketiganya saling bertautan satu sama lain.  
***
Rentetan alur (prinsip) serupa, mendadak kembali hadir namun dengan narasi berbeda. Jika tujuh tahun silam saya menyaksikan prinsip hidup yang pasti: dari niat, ikhtiar (usaha), hingga memendam ambisi. Namun kini, sebuah proses menjadi silang-sengkarut, betapa kerancuan antara niat, usaha (ikhtiar) dan ambisi, tak berjalan sebagaimana mestinya. Terkadang mempunyai niat baik, tapi tanpa ada usaha, jadi percuma. Dan bahkan sebaliknya, terus berusaha tapi tanpa ada niat tulus, jadi sia-sia. Yang lebih membingungkan, sebagaimana yang pernah saya alami, memendam ambisi berlebih namun tanpa niat dan usaha. 
Dalam takaran ini, kita dapat menyaksikan tindak-tanduk sang empunya kebijakan. Banyak di antara mereka—dalam kesimpulan sederhana—rela merogoh kocek dalam-dalam, lobi sana-sini, dengan satu tujuan: “jabatan tertentu”. Namun malangnya, menjelang masa purna tugas, bukannya menyuguhkan prestasi atau capaian terbaik, tapi malah terbelenggu istilah sentimental, misalnya ‘papa minta saham’ atau ‘jatah semangka separoh’. Bagi saya, tontonan ini semaca timbal-balik antara ambisi berlebih dan niat tak tulus. Yang pada intinya, berniat mewujudkan ambisi pribadi dan disaat yang sama, mengorbankan nasib rakyat kebanyakan.
Dalam pada itu, mengekang ambisi terkadang malah menjadi benalu. Yang pada akhirnya, melahirkan momentum penuh ambisius: “persetubuhan nafsu”. Oleh karenanya, seorang bijak-bestari telah memberikan nasihat, upaya mewujudkan (hasil) paripurna tidak hanya di tentukan oleh seperangkat aturan, misalnya niat dengan do’a, usaha dan boleh juga, ber(ambisi). Nasihat ini, agaknya berusaha mengconter prilaku penuh ambisius, namun di saat yang sama tidak di sertai kemampuan yang mumpuni. Hal ini hanya sebatas penafsiran, bisa jadi realita terjadi sebaliknya, punya kemampuan namun tidak berhasrat menggapai hasil paripurna.  
"upaya mewujudkan (hasil) paripurna tidak hanya di tentukan oleh seperangkat aturan, misalnya niat dengan do’a, usaha dan boleh juga, ber(ambisi)". nasihat bijak-bestari

Jalâl ad-Dīn 'Abd ar-Rahman as-Suyuti, seorang pakar semantik Arab dalam kajiannya yang begitu eksak: ilm al-badi’ (rhetoric), jauh-jauh hari telah mengingatkan mengenai gejalan ini. Dengan luwes dan gamblang, beliau menafsiri pelbagai persoalan diantaranya, tentang badi irshod. As-Suyuti mengutip sepenggal syair, dari ontologi ‘Amr bin Makdikariba, demikian: 
“Ketika engkau tak mampu melakukan sesuatu (pekerjaan), tinggalkanlah #
beralilah pada pekerjaan yang dapat engkau lakukan”.
Dalam menghadirkan contoh atau narasi, as-Suyuti dan juga penulis buku-buku dengan tema serupa, telah menempati—dalam tafsiran saya—dua posisi berbeda. Pertama, sudah tentu sebagai contoh ideal dari term itu sendiri dan kedua, menyimpan pesan tersirat; berupa kritik, motivasi dan bahkan, nasihat. Terlepas dari semua itu, sepenggal syair di atas—disadari atau tidak—sebenarnya telah mengingatkan para pembacanya, adakalanya ‘ambisi’ harus di kekang, berdasarkan pijakan, jika tidak mampu menjalaninya.
Pertama, sudah tentu sebagai contoh ideal dari term itu sendiri dan kedua, menyimpan pesan tersirat; berupa kritik, motivasi dan bahkan, nasihat.

Pada akhirnya, kata ‘ambisi’ tidak lebih berupa polisemi. Pertama, ia dapat menyulut keberhasilan dan kedua, siap menelikung ke(berhasil)an siapapun. Dan untuk kali ini, benar juga ketika seorang kawan berkelekar, “Le, ambisi saja tidak cukup!”.

Jumat, 29 April 2016

Belenggu Ngunduh Mantu

Belenggu Ngunduh Mantu

Malam di penghujung bulan Januari turun begitu cepat. Sang rembulan masih tetap terpaku, bahkan ketika angin mulai bertiup kencang, malam yang kian larut, ia tetap tak bergeming. Demikianlah, malam yang –sepertinya—murung tapi tak menyurutkan niatan tiga sekawan; Warjo, mbah Giman dan Ahmad, untuk sekedar berkumpul singkat. Bahkan satu perhitungan telah di sepakati, pertemuan mereka di anggap usai jika telah mengahabiskan segelas kopi. Dan malam itu, obrolan renyah tengah berlangsung di kedai mang Dikun.
 
***  
Kedai Mang Dikun, 20:30.
Lokasinya mudah di  temukan, dekat pertigaan desa, tak jauh dari sungai yang membelah ruas kampung. Oleh penduduk sekitar, tempat ini di kenal—bahkan cukup kesohor—dengan nama ‘kedai mang Dikun’. Ketenaran kedai satu ini sebab dua hal: pertama, keunikan racikan kopi yang di sajikan. Kedua; keramahan sang empunya. Keunikan, atau lebih tepatnya racikan, kedai satu ini terletak pada sentuhan dan rasa yang di tawarkan. Citarasa kopi tumbukan dengan campuran rempah-rempah, sehingga aroma yang menyembul begitu kuat dan, khas tentunya. Sementara yang kedua, tak perlu di tafsiri lebih jauh.

Pembawaan yang humoris dan tak jarang, mengeluarkan joke-joke segar, cukup menarik hati pelanggan, termasuk diantaranya tiga sekawan; Warjo, Ahmad dan Giman. Selama sepekan, di pastikan ketignya tidak ernah absen, barang satu hari. Dan malam itu, ketiganya tengah terlibat perbincangan ringan.

“Mad, sampean sudah ngomong sama pak Ustadz tentang masalah saya”, tanya Giman pada Ahmad mengawali pembicaraan.

”Belum”.
  
(Baca juga: Menggagas Refolmulasi Dakwah)

“Mau matur gimana, lah wong saya saja repot ngeramut sawah. Belum lagi saya endak enak setiap kali ketemu pak Ustadz”, jawab Ahmad.
   
Sebelumnya, tiga hari yang lalu, Giman meminta pada Ahmad agar mencarikan solusi perihal masalah yang tengah di hadapinya. Masalah ini menyangkut kegalauan Giman tentang rencana pernikahan andiknya, galau bukan karena ia bakal di ‘salip’ oleh adiknya, tapi ini menyangkut tinjauan hukum perihal masalahnya tersebut. Duduk masalahnya bermula tatkala kelaurga Giman berencana menutup akses jalan raya, sebagai lokasi hajatan; ngunduh mantu. Mengingat lokasi gedung serba guna, sebagai alternatif, terletak cukup jauh dari rumahnya.

“Sudah Man begini saja”, serga Warjo sembari sesekali menikmati seduhan kopi rempah-rempah. Jari telunjuknya terus bergerak, melepaskan sisa-sisa abu di ujung rokok.

“Kalau begini gimana, besok pagi saya yang akan matur ke pak Ustadz”.
 
“Kalau sampean bersedia, bagus itu Jo”, sela Ahmad.
 
“Sampean sendiri gimana, Man? Endak keberatan toh, seandainya Warjo yang menyampaikan masalahmu itu ke pak Ustadz”, tanya Ahmad pada mbah Giman.
 
“Ya..., ndak masalah”, jawab Giman singkat.
 
“Ya sudah! Apa yag harus saya sampaikan ke pak Ustadz”.
 
“Begini, Jo!”, respon Giman menanggapi usulan Ahmad.

Giman lekas menata posisi; ‘bersandar’, dan berulang kali mengaduk-aduk gelas di depannya, nampak berusaha mencapur sesuatu; gula dan kopi. Sekalipun ia sadar, gula sudah larut sejak beberapa saat sebelumnya. Bahkan sejak air panas, untuk pertama kalinya, menyentuh dasar gelas. Begitulah Giman, hanya gaya berinteraksi.
 
Seperti Giman, Ahmad dan Warjo juga tengah menikmati segelas kopi kesukaannya. Bedanya, kedua karib Giman ini, selain penikmat kopi juga pecandu rokok kelas berat. Sementara Giman, hanya penikmat kopi, tanpa rokok. Dan saat itu, Giman mulai berkisah.
 
“Oalah.., Cuma itu toh. Ya besok saya tak coba tanya ke pak Ustadz”, tegas Warjo begitu Giman mengakhiri ceritanya.
 
“Ya wis, saya tunggu hasilnya”, saut Giman.

***
Halaman rumah dengan cat putih itu cukup teduh. Pepohonan yang rindang dan suara gemericit burung piaraan, semakin menambah keteduhan. Sang empunya, oleh penduduk sekitar, biasa di panggil pak haji Qomar atau pak ustadz. “Pembawaannya ramah”, kata para tetangga. Sementara yang lain menimpali, “O ya.., pak Ustad itu juga murah senyum, loh!”. Satu sama lain saling menyaut, sementara yang diam hanya mengamini. Demikianlah, setiap kali penduduk kampung membicarakan sosok ustadz Qomar. Dan pagi yang teduh, mengantarkan Warjo menuju kediaman pak Ustadz.

(Baca juga: Amanah dan Sepenggal Hikayat)
 
“Silahkan masuk pak Warjo”, sambut pak Ustadz. Setelah keduanya saling bertukar kabar, Warjo langsung mengutarakan maksud kedatangannya.
 
“Itu loh pak Ustadz, Giman”. 
“Ada apa dengan pak Giman?”, sela pak Ustadz.
 
“Mohon maaf sebelumnya, begini pak Ustadz..”. Warjo langsung berkisah perihal kemasghulan Giman, mulai dari rencana hajatan yang menutup akses jalan raya, hingga alternatif yang bisa di tempuh, menyewa gedung serba guna, yang sebenarnya cukup riskan terwujud; mengingat jarak yang jauh dan harga sewa, termasuk katring, cukup mahal. Dan kehadiran Warjo kali ini, bukan hanya meminta nasihat, tapi mencari solusi mengenai kegalauan Giman. Karena yang di datangi pak ustadz, tentu yang dituju penyelesaian masalah menurut hukum Islam (fiqh). Kira-kira begitu. 
 
“Begitu ya, pak Warjo..”. Belum sempat Warjo menimpali, pak ustadz kembali melanjutkan omongannya.

“Dilematis..”, imbuhnya. Pak ustadz nampak nampak serius, tapi dengan gaya tetap rileks, begitupun dengan Warjo, terus memperhatikan dan sesekali membubuhkan coretan di selebar kertas. 
Disaat yang sama, pak Ustadz mendadak bangkit, masuk kedalam dan tak berapa lama kembali dengan membawa beberapa buku atau tepatnya, kitab. Dan meletakkannya di atas meja. “Maaf ya pak Warjo, mau saya cari dulu jawabannya. Saya kok agak ragu!”, pinta pak Ustadz. 
Pak Warjo hanya mangut-mangut, mengiyakan permintaan pak Ustadz. “O ya, silahkan kopinya di minum”, kata Pak Ustadz kepada Warjo. 
“Begini pak Warjo..”, suara pak Ustadz membangunkan lamunan Warjo. Ia lekas konsentrasi, kembali mengambil bolpoint dan selembar kertas; bersiap menuliskan sesuatu yang ia dapat. Sementara pak ustadz terus membolak-balik buku-buku di depannya. Sekalipun tak begitu mudheng, Warjo cukup lanyah mengeja nama buku-buku itu—diantaranya dan yang terus di amati pak ustadz—adalah, Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah dan Hasyiyah Al-Jamal ala  Al-Minhaj. “Keduanya seperti kitab babon pak ustadz, tapi entahlah”, gumam Giman. 
“Cukup dilematis..”, pak ustadz kembali mengulangi perkataanya dan kemudian mulai bertutur. Dalam penuturannya, ustadz Qomar menyatakan jika masalah itu, menutup jalan raya untuk keperluan tertentu, prinsip dasarnya di perbolehkan.  
 
Dalam kesempatan itu, pak ustadz menegaskan, kemaslahatan umum (marafiq al-ammah) yang dalam kondisi tertentu, terjadi interaksi banyak orang, sejatinya di perbolehkan apabila terdapat kemanfaatan. Termasuk juga dalam pemanfaatan fasilitas umum, seperti kasus pak Giman. “Ingat, yang perlu di perhatikan..!”, tegas pak Ustadz yang justru membuat Warjo bersemangat.
“Tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”, lanjutnya mengutip sebuah hadits.
Pemanfaatan fasilitas umum itu, jika tidak menimbulkan keresahan atau dalam bahasa lain, membahayakan (madlorot). Jika hal itu sampai terjadi, tentu tidak boleh, “Karena bagaimanapun suatu tindakan yang dapat membahayakan orang lain, tidak di benarkan”, tutur pak Ustadz memberikan alasan. “Tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”, lanjutnya mengutip sebuah hadits.

“Solusinya bagaimana, Ustadz?”, sergah warjo.
 
“Lah itu...”, pak Ustadz menimpali. Kemudian kembali menuturkan, katanya, yang terjadi di lapangan bagaimana. Jika sampai mengganggu pengguna jalan atau bahkan sampai terjadi kecelakaan yang di picu pemblokiran jalan, tentu tidak boleh dan harus mencari solusi, misalnya, gedung serbaguna, sekalipun terlampau jarak yang jauh. Jika masih tetap memaksa, pihak penyelenggara harus menjamin keselamatan pengguna jalan dan tentunya, “Perlu melewati prosedur perizinan dari pihak terkait”, tandas pak Ustadz dan kemudian ia mengutip satu keterangan, menurutnya: “Mengesampingkan dampak negatif (mafasid) dan mendahulukan yang positif (masolih)”.

“Mengesampingkan dampak negatif (mafasid) dan mendahulukan yang positif (masolih)”.
Penjelasan pak Ustadz cukup membuat Warjo tenang hati. Setidaknya beban yang menggelanyut di pundaknya telah terselesaikan, tinggal satu hal yang perlu ia lakukan, menyampaikan hasil pertemuan ini pada Giman, secepatnya. Usai kembali berbincang-bincang ringang, Warjo menyampaikan pamit, “Terima kasih pak ustadz, maaf sudah merepotkan, saya pamit pulang dulu”, katanya seraya berdiri dan menyodorkan tangan. Dan keduanya pun berpisah.