Jumat, 29 April 2016

Belenggu Ngunduh Mantu

Malam di penghujung bulan Januari turun begitu cepat. Sang rembulan masih tetap terpaku, bahkan ketika angin mulai bertiup kencang, malam yang kian larut, ia tetap tak bergeming. Demikianlah, malam yang –sepertinya—murung tapi tak menyurutkan niatan tiga sekawan; Warjo, mbah Giman dan Ahmad, untuk sekedar berkumpul singkat. Bahkan satu perhitungan telah di sepakati, pertemuan mereka di anggap usai jika telah mengahabiskan segelas kopi. Dan malam itu, obrolan renyah tengah berlangsung di kedai mang Dikun.
 
***  
Kedai Mang Dikun, 20:30.
Lokasinya mudah di  temukan, dekat pertigaan desa, tak jauh dari sungai yang membelah ruas kampung. Oleh penduduk sekitar, tempat ini di kenal—bahkan cukup kesohor—dengan nama ‘kedai mang Dikun’. Ketenaran kedai satu ini sebab dua hal: pertama, keunikan racikan kopi yang di sajikan. Kedua; keramahan sang empunya. Keunikan, atau lebih tepatnya racikan, kedai satu ini terletak pada sentuhan dan rasa yang di tawarkan. Citarasa kopi tumbukan dengan campuran rempah-rempah, sehingga aroma yang menyembul begitu kuat dan, khas tentunya. Sementara yang kedua, tak perlu di tafsiri lebih jauh.

Pembawaan yang humoris dan tak jarang, mengeluarkan joke-joke segar, cukup menarik hati pelanggan, termasuk diantaranya tiga sekawan; Warjo, Ahmad dan Giman. Selama sepekan, di pastikan ketignya tidak ernah absen, barang satu hari. Dan malam itu, ketiganya tengah terlibat perbincangan ringan.

“Mad, sampean sudah ngomong sama pak Ustadz tentang masalah saya”, tanya Giman pada Ahmad mengawali pembicaraan.

”Belum”.
  
(Baca juga: Menggagas Refolmulasi Dakwah)

“Mau matur gimana, lah wong saya saja repot ngeramut sawah. Belum lagi saya endak enak setiap kali ketemu pak Ustadz”, jawab Ahmad.
   
Sebelumnya, tiga hari yang lalu, Giman meminta pada Ahmad agar mencarikan solusi perihal masalah yang tengah di hadapinya. Masalah ini menyangkut kegalauan Giman tentang rencana pernikahan andiknya, galau bukan karena ia bakal di ‘salip’ oleh adiknya, tapi ini menyangkut tinjauan hukum perihal masalahnya tersebut. Duduk masalahnya bermula tatkala kelaurga Giman berencana menutup akses jalan raya, sebagai lokasi hajatan; ngunduh mantu. Mengingat lokasi gedung serba guna, sebagai alternatif, terletak cukup jauh dari rumahnya.

“Sudah Man begini saja”, serga Warjo sembari sesekali menikmati seduhan kopi rempah-rempah. Jari telunjuknya terus bergerak, melepaskan sisa-sisa abu di ujung rokok.

“Kalau begini gimana, besok pagi saya yang akan matur ke pak Ustadz”.
 
“Kalau sampean bersedia, bagus itu Jo”, sela Ahmad.
 
“Sampean sendiri gimana, Man? Endak keberatan toh, seandainya Warjo yang menyampaikan masalahmu itu ke pak Ustadz”, tanya Ahmad pada mbah Giman.
 
“Ya..., ndak masalah”, jawab Giman singkat.
 
“Ya sudah! Apa yag harus saya sampaikan ke pak Ustadz”.
 
“Begini, Jo!”, respon Giman menanggapi usulan Ahmad.

Giman lekas menata posisi; ‘bersandar’, dan berulang kali mengaduk-aduk gelas di depannya, nampak berusaha mencapur sesuatu; gula dan kopi. Sekalipun ia sadar, gula sudah larut sejak beberapa saat sebelumnya. Bahkan sejak air panas, untuk pertama kalinya, menyentuh dasar gelas. Begitulah Giman, hanya gaya berinteraksi.
 
Seperti Giman, Ahmad dan Warjo juga tengah menikmati segelas kopi kesukaannya. Bedanya, kedua karib Giman ini, selain penikmat kopi juga pecandu rokok kelas berat. Sementara Giman, hanya penikmat kopi, tanpa rokok. Dan saat itu, Giman mulai berkisah.
 
“Oalah.., Cuma itu toh. Ya besok saya tak coba tanya ke pak Ustadz”, tegas Warjo begitu Giman mengakhiri ceritanya.
 
“Ya wis, saya tunggu hasilnya”, saut Giman.

***
Halaman rumah dengan cat putih itu cukup teduh. Pepohonan yang rindang dan suara gemericit burung piaraan, semakin menambah keteduhan. Sang empunya, oleh penduduk sekitar, biasa di panggil pak haji Qomar atau pak ustadz. “Pembawaannya ramah”, kata para tetangga. Sementara yang lain menimpali, “O ya.., pak Ustad itu juga murah senyum, loh!”. Satu sama lain saling menyaut, sementara yang diam hanya mengamini. Demikianlah, setiap kali penduduk kampung membicarakan sosok ustadz Qomar. Dan pagi yang teduh, mengantarkan Warjo menuju kediaman pak Ustadz.

(Baca juga: Amanah dan Sepenggal Hikayat)
 
“Silahkan masuk pak Warjo”, sambut pak Ustadz. Setelah keduanya saling bertukar kabar, Warjo langsung mengutarakan maksud kedatangannya.
 
“Itu loh pak Ustadz, Giman”. 
“Ada apa dengan pak Giman?”, sela pak Ustadz.
 
“Mohon maaf sebelumnya, begini pak Ustadz..”. Warjo langsung berkisah perihal kemasghulan Giman, mulai dari rencana hajatan yang menutup akses jalan raya, hingga alternatif yang bisa di tempuh, menyewa gedung serba guna, yang sebenarnya cukup riskan terwujud; mengingat jarak yang jauh dan harga sewa, termasuk katring, cukup mahal. Dan kehadiran Warjo kali ini, bukan hanya meminta nasihat, tapi mencari solusi mengenai kegalauan Giman. Karena yang di datangi pak ustadz, tentu yang dituju penyelesaian masalah menurut hukum Islam (fiqh). Kira-kira begitu. 
 
“Begitu ya, pak Warjo..”. Belum sempat Warjo menimpali, pak ustadz kembali melanjutkan omongannya.

“Dilematis..”, imbuhnya. Pak ustadz nampak nampak serius, tapi dengan gaya tetap rileks, begitupun dengan Warjo, terus memperhatikan dan sesekali membubuhkan coretan di selebar kertas. 
Disaat yang sama, pak Ustadz mendadak bangkit, masuk kedalam dan tak berapa lama kembali dengan membawa beberapa buku atau tepatnya, kitab. Dan meletakkannya di atas meja. “Maaf ya pak Warjo, mau saya cari dulu jawabannya. Saya kok agak ragu!”, pinta pak Ustadz. 
Pak Warjo hanya mangut-mangut, mengiyakan permintaan pak Ustadz. “O ya, silahkan kopinya di minum”, kata Pak Ustadz kepada Warjo. 
“Begini pak Warjo..”, suara pak Ustadz membangunkan lamunan Warjo. Ia lekas konsentrasi, kembali mengambil bolpoint dan selembar kertas; bersiap menuliskan sesuatu yang ia dapat. Sementara pak ustadz terus membolak-balik buku-buku di depannya. Sekalipun tak begitu mudheng, Warjo cukup lanyah mengeja nama buku-buku itu—diantaranya dan yang terus di amati pak ustadz—adalah, Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah dan Hasyiyah Al-Jamal ala  Al-Minhaj. “Keduanya seperti kitab babon pak ustadz, tapi entahlah”, gumam Giman. 
“Cukup dilematis..”, pak ustadz kembali mengulangi perkataanya dan kemudian mulai bertutur. Dalam penuturannya, ustadz Qomar menyatakan jika masalah itu, menutup jalan raya untuk keperluan tertentu, prinsip dasarnya di perbolehkan.  
 
Dalam kesempatan itu, pak ustadz menegaskan, kemaslahatan umum (marafiq al-ammah) yang dalam kondisi tertentu, terjadi interaksi banyak orang, sejatinya di perbolehkan apabila terdapat kemanfaatan. Termasuk juga dalam pemanfaatan fasilitas umum, seperti kasus pak Giman. “Ingat, yang perlu di perhatikan..!”, tegas pak Ustadz yang justru membuat Warjo bersemangat.
“Tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”, lanjutnya mengutip sebuah hadits.
Pemanfaatan fasilitas umum itu, jika tidak menimbulkan keresahan atau dalam bahasa lain, membahayakan (madlorot). Jika hal itu sampai terjadi, tentu tidak boleh, “Karena bagaimanapun suatu tindakan yang dapat membahayakan orang lain, tidak di benarkan”, tutur pak Ustadz memberikan alasan. “Tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”, lanjutnya mengutip sebuah hadits.

“Solusinya bagaimana, Ustadz?”, sergah warjo.
 
“Lah itu...”, pak Ustadz menimpali. Kemudian kembali menuturkan, katanya, yang terjadi di lapangan bagaimana. Jika sampai mengganggu pengguna jalan atau bahkan sampai terjadi kecelakaan yang di picu pemblokiran jalan, tentu tidak boleh dan harus mencari solusi, misalnya, gedung serbaguna, sekalipun terlampau jarak yang jauh. Jika masih tetap memaksa, pihak penyelenggara harus menjamin keselamatan pengguna jalan dan tentunya, “Perlu melewati prosedur perizinan dari pihak terkait”, tandas pak Ustadz dan kemudian ia mengutip satu keterangan, menurutnya: “Mengesampingkan dampak negatif (mafasid) dan mendahulukan yang positif (masolih)”.

“Mengesampingkan dampak negatif (mafasid) dan mendahulukan yang positif (masolih)”.
Penjelasan pak Ustadz cukup membuat Warjo tenang hati. Setidaknya beban yang menggelanyut di pundaknya telah terselesaikan, tinggal satu hal yang perlu ia lakukan, menyampaikan hasil pertemuan ini pada Giman, secepatnya. Usai kembali berbincang-bincang ringang, Warjo menyampaikan pamit, “Terima kasih pak ustadz, maaf sudah merepotkan, saya pamit pulang dulu”, katanya seraya berdiri dan menyodorkan tangan. Dan keduanya pun berpisah. 

Tags :

bm

M. Achfas Afandi

Seo Construction

I like to make cool and creative designs. My design stash is always full of refreshing ideas. Feel free to take a look around my Vcard.

  • M. Achfas Afandi
  • Februari 24, 1989
  • 1220 Manado Trans Sulawesi
  • contact@example.com
  • +123 456 789 111

Posting Komentar