Belenggu Ngunduh Mantu
Malam di penghujung bulan Januari
turun begitu cepat. Sang rembulan masih tetap terpaku, bahkan ketika angin mulai
bertiup kencang, malam yang kian larut, ia tetap tak bergeming. Demikianlah,
malam yang –sepertinya—murung tapi tak menyurutkan niatan tiga sekawan; Warjo, mbah
Giman dan Ahmad, untuk sekedar berkumpul singkat. Bahkan satu perhitungan telah
di sepakati, pertemuan mereka di anggap usai jika telah mengahabiskan segelas
kopi. Dan malam itu, obrolan renyah tengah berlangsung di kedai mang Dikun.
***
Kedai Mang Dikun, 20:30.
Kedai Mang Dikun, 20:30.
Lokasinya mudah di temukan, dekat pertigaan desa, tak jauh dari
sungai yang membelah ruas kampung. Oleh penduduk sekitar, tempat ini di
kenal—bahkan cukup kesohor—dengan nama ‘kedai mang Dikun’. Ketenaran kedai satu
ini sebab dua hal: pertama, keunikan racikan kopi yang di sajikan. Kedua;
keramahan sang empunya. Keunikan, atau lebih tepatnya racikan, kedai satu ini
terletak pada sentuhan dan rasa yang di tawarkan. Citarasa kopi tumbukan dengan
campuran rempah-rempah, sehingga aroma yang menyembul begitu kuat dan, khas
tentunya. Sementara yang kedua, tak perlu di tafsiri lebih jauh.
Pembawaan yang humoris dan tak jarang, mengeluarkan joke-joke segar, cukup menarik hati pelanggan, termasuk diantaranya tiga sekawan; Warjo, Ahmad dan Giman. Selama sepekan, di pastikan ketignya tidak ernah absen, barang satu hari. Dan malam itu, ketiganya tengah terlibat perbincangan ringan.
“Mad, sampean sudah ngomong sama pak Ustadz tentang masalah saya”, tanya Giman pada Ahmad mengawali pembicaraan.
“Mau matur gimana, lah wong saya saja repot ngeramut sawah. Belum lagi saya endak enak setiap kali ketemu pak Ustadz”, jawab Ahmad.
Sebelumnya, tiga hari yang lalu, Giman
meminta pada Ahmad agar mencarikan solusi perihal masalah yang tengah di
hadapinya. Masalah ini menyangkut kegalauan Giman tentang rencana pernikahan
andiknya, galau bukan karena ia bakal di ‘salip’ oleh adiknya, tapi ini
menyangkut tinjauan hukum perihal masalahnya tersebut. Duduk masalahnya bermula
tatkala kelaurga Giman berencana menutup akses jalan raya, sebagai lokasi
hajatan; ngunduh mantu. Mengingat lokasi gedung serba guna, sebagai alternatif,
terletak cukup jauh dari rumahnya.
“Sudah Man begini saja”, serga Warjo sembari sesekali menikmati seduhan kopi rempah-rempah. Jari telunjuknya terus bergerak, melepaskan sisa-sisa abu di ujung rokok.
“Kalau begini gimana, besok pagi saya yang akan matur ke pak Ustadz”.
“Kalau sampean bersedia, bagus itu
Jo”, sela Ahmad.
“Sampean sendiri gimana, Man? Endak
keberatan toh, seandainya Warjo yang menyampaikan masalahmu itu ke pak Ustadz”,
tanya Ahmad pada mbah Giman.
“Ya..., ndak masalah”, jawab Giman
singkat.
“Ya sudah! Apa yag harus saya
sampaikan ke pak Ustadz”.
“Begini, Jo!”, respon Giman menanggapi
usulan Ahmad.
Giman lekas menata posisi; ‘bersandar’, dan berulang kali mengaduk-aduk gelas di depannya, nampak berusaha mencapur sesuatu; gula dan kopi. Sekalipun ia sadar, gula sudah larut sejak beberapa saat sebelumnya. Bahkan sejak air panas, untuk pertama kalinya, menyentuh dasar gelas. Begitulah Giman, hanya gaya berinteraksi.
Seperti Giman, Ahmad dan Warjo juga
tengah menikmati segelas kopi kesukaannya. Bedanya, kedua karib Giman ini,
selain penikmat kopi juga pecandu rokok kelas berat. Sementara Giman, hanya
penikmat kopi, tanpa rokok. Dan saat itu, Giman mulai berkisah.
“Oalah.., Cuma itu toh. Ya besok saya
tak coba tanya ke pak Ustadz”, tegas Warjo begitu Giman mengakhiri ceritanya.
“Ya wis, saya tunggu hasilnya”, saut
Giman.
***
Halaman rumah dengan cat putih itu
cukup teduh. Pepohonan yang rindang dan suara gemericit burung piaraan, semakin
menambah keteduhan. Sang empunya, oleh penduduk sekitar, biasa di panggil pak
haji Qomar atau pak ustadz. “Pembawaannya ramah”, kata para tetangga. Sementara
yang lain menimpali, “O ya.., pak Ustad itu juga murah senyum, loh!”. Satu sama
lain saling menyaut, sementara yang diam hanya mengamini. Demikianlah, setiap
kali penduduk kampung membicarakan sosok ustadz Qomar. Dan pagi yang teduh,
mengantarkan Warjo menuju kediaman pak Ustadz.
(Baca juga: Amanah dan Sepenggal Hikayat)
(Baca juga: Amanah dan Sepenggal Hikayat)
“Silahkan masuk pak Warjo”, sambut pak
Ustadz. Setelah keduanya saling bertukar kabar, Warjo langsung mengutarakan
maksud kedatangannya.
“Itu loh pak Ustadz, Giman”.
“Ada apa dengan pak Giman?”, sela pak
Ustadz.
“Mohon maaf sebelumnya, begini pak
Ustadz..”. Warjo langsung berkisah perihal kemasghulan Giman, mulai dari
rencana hajatan yang menutup akses jalan raya, hingga alternatif yang bisa di
tempuh, menyewa gedung serba guna, yang sebenarnya cukup riskan terwujud;
mengingat jarak yang jauh dan harga sewa, termasuk katring, cukup mahal. Dan
kehadiran Warjo kali ini, bukan hanya meminta nasihat, tapi mencari solusi
mengenai kegalauan Giman. Karena yang di datangi pak ustadz, tentu yang dituju
penyelesaian masalah menurut hukum Islam (fiqh). Kira-kira begitu.
“Begitu ya, pak Warjo..”. Belum sempat
Warjo menimpali, pak ustadz kembali melanjutkan omongannya.
“Dilematis..”, imbuhnya. Pak ustadz
nampak nampak serius, tapi dengan gaya tetap rileks, begitupun dengan Warjo,
terus memperhatikan dan sesekali membubuhkan coretan di selebar kertas.
Disaat yang sama, pak Ustadz mendadak
bangkit, masuk kedalam dan tak berapa lama kembali dengan membawa beberapa buku
atau tepatnya, kitab. Dan meletakkannya di atas meja. “Maaf ya pak Warjo, mau
saya cari dulu jawabannya. Saya kok agak ragu!”, pinta pak Ustadz.
Pak Warjo hanya mangut-mangut, mengiyakan
permintaan pak Ustadz. “O ya, silahkan kopinya di minum”, kata Pak Ustadz
kepada Warjo.
“Begini pak Warjo..”, suara pak Ustadz
membangunkan lamunan Warjo. Ia lekas konsentrasi, kembali mengambil bolpoint
dan selembar kertas; bersiap menuliskan sesuatu yang ia dapat. Sementara pak
ustadz terus membolak-balik buku-buku di depannya. Sekalipun tak begitu mudheng,
Warjo cukup lanyah mengeja nama buku-buku itu—diantaranya dan yang terus di amati
pak ustadz—adalah, Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah dan Hasyiyah
Al-Jamal ala Al-Minhaj. “Keduanya
seperti kitab babon pak ustadz, tapi entahlah”, gumam Giman.
Dalam kesempatan itu, pak ustadz
menegaskan, kemaslahatan umum (marafiq al-ammah) yang dalam kondisi
tertentu, terjadi interaksi banyak orang, sejatinya di perbolehkan apabila terdapat
kemanfaatan. Termasuk juga dalam pemanfaatan fasilitas umum, seperti kasus pak
Giman. “Ingat, yang perlu di perhatikan..!”, tegas pak Ustadz yang justru
membuat Warjo bersemangat.
Pemanfaatan fasilitas umum itu, jika tidak menimbulkan keresahan atau dalam bahasa lain, membahayakan (madlorot). Jika hal itu sampai terjadi, tentu tidak boleh, “Karena bagaimanapun suatu tindakan yang dapat membahayakan orang lain, tidak di benarkan”, tutur pak Ustadz memberikan alasan. “Tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”, lanjutnya mengutip sebuah hadits.“Tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”, lanjutnya mengutip sebuah hadits.
“Solusinya bagaimana, Ustadz?”, sergah warjo.
“Lah itu...”, pak Ustadz menimpali.
Kemudian kembali menuturkan, katanya, yang terjadi di lapangan bagaimana. Jika
sampai mengganggu pengguna jalan atau bahkan sampai terjadi kecelakaan yang di
picu pemblokiran jalan, tentu tidak boleh dan harus mencari solusi, misalnya,
gedung serbaguna, sekalipun terlampau jarak yang jauh. Jika masih tetap
memaksa, pihak penyelenggara harus menjamin keselamatan pengguna jalan dan
tentunya, “Perlu melewati prosedur perizinan dari pihak terkait”, tandas pak
Ustadz dan kemudian ia mengutip satu keterangan, menurutnya: “Mengesampingkan dampak
negatif (mafasid) dan mendahulukan yang positif (masolih)”.
“Mengesampingkan dampak negatif (mafasid) dan mendahulukan yang positif (masolih)”.
Penjelasan pak Ustadz cukup membuat
Warjo tenang hati. Setidaknya beban yang menggelanyut di pundaknya telah
terselesaikan, tinggal satu hal yang perlu ia lakukan, menyampaikan hasil
pertemuan ini pada Giman, secepatnya. Usai kembali berbincang-bincang ringang, Warjo
menyampaikan pamit, “Terima kasih pak ustadz, maaf sudah merepotkan, saya pamit
pulang dulu”, katanya seraya berdiri dan menyodorkan tangan. Dan keduanya pun
berpisah.
M. Achfas Afandi
Seo Construction
I like to make cool and creative designs. My design stash is always full of refreshing ideas. Feel free to take a look around my Vcard.
- M. Achfas Afandi
- Februari 24, 1989
- 1220 Manado Trans Sulawesi
- contact@example.com
- +123 456 789 111
Posting Komentar