Islam dan Revisitasi Makna Persatuan
Isu
tentang persatuan dan kesatuan, belakangan menjadi salah satu topik yang cukup
populer, setidaknya dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir. Fenomena
ini—disadari atau tidak—buntut dari ketegangan-ketegangan (tensions)
yang terus mengemuka, lebih lagi ketika bersinggungan dengan paham keagamaan
dan representasi politik. Bisa dipastikan, persoalan yang sepele sekalipun
bakal berbuntut panjang.
Kecenderungan
tersebut kian nyata manakala masyarakat mudah tersulut isu-isu murahan,
yang—sampai sejauh ini—kerap kali tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Beruntung, sejatinya kita punya pengalaman mengatasi persoalan ini, yakni
dengan merawat nilai-nilai persatuan dan persaudaraan antar sesama. Dalam Islam
sendiri, keduanya di yakini menjadi salah satu instrument penting dalam
menampilkan wajah Islam yang sebenarnya: santun, ramah, dan tidak marah-marah.
Oleh
karena itu, sebagai agama rahmat bagi semesta, Islam telah merumuskan bagaimana
merawat simpul-simpul kebinekaan ini agar lebih mudah dipahami. Tujuannya tak
lain, dapat mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
dari dan untuk semua elemen masyarakat.
Persatuan
dalam Islam
Menelusuri
entitas persatuan dalam Islam, kita dapat menemukannya dalam beberapa sumber
sekaligus, yang satu sama lain tentunya saling berkelindan. Dalam al-Qur’an,
pesan ini tersirat dalam QS. Ali Imran [03]: 103 yang menegaskan, bahwa bagi
segenap orang yang beriman di haruskan untuk berpegang pada tali Allah swt. dan
untuk tidak tercerai-berai dalam persaudaraan. Dikalangan ulama (mufassir),
ayat ini dipahami dengan beragam pengertian, sekaligus menyimpan makna yang
berbeda (multitafsir).
Dalam
Tafsir Al-Maturidi misalnya, sahabat Abd’ Allah Ibn Masud menafsiri kata
“Hablu Allah” (tali Allah swt.) dengan makna persatuan (Al-Jama’ah),
yang artinya berupa perintah untuk meneguhkan persatuan dan menjauhi
perpecahan. Pendapat tersebut di kutip oleh beberapa ulama, misalnya, Abu
Ja’far Al-Thabari (w. 310), Abu Hayyan Al-Andalusi (w. 745), dan Abu Hasan ibn
Muhammad Al-Mawardi (w. 450).
Dalam
komentarnya, Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333) menegaskan, keharusan menjaga
persatuan karena tipikal seorang muslim (ahl al-Islam) tak lain dengan
menjaga persatuan (al-Jama’ah), dan mencegah perpecahan. Hal ini selaras
dengan pesan dalam QS. Al-An’am [06]: ayat 153, bahwa kita diharuskan mengikuti
jalan yang lurus dan tidak sebaliknya, jalan yang dapat mencederai persatuan.
Demikian ini perintah Allah swt. agar menjadi manusia yang bertakwa.
Komentar
(syarh) yang lebih dialogis dapat ditemukan dalam—diantaranya—kitab Tafsir
Al-Mawardi, bahwa larangan tercerai-berai antar sesama tidak lepas dari dua
penafsiran: pertama, keharusan menjaga persatuan dalam meneguhkan
(ajaran-ajaran) agama. Dan kedua, bersatu dalam meneladani pesan-pesan kenabian
Muhammad saw. Penafsiran ini, berdasarkan artikulasi persatuan dalam konteks
keberagamaan. Sementara dalam bingkai keindonesiaan lain lagi, yakni upaya
merajut tenun kebangsaan dan merawat elan-elan penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Perbedaan
penafsiran ini, tak lain lahir dari ekspresi pemikiran para ulama yang
mendasarkan pada analisa dan kerangka berfikir yang berbeda, sehingga
menghasilkan rumusan yang berbeda pula. Namun setidaknya mereka sepakat akan
satu hal, bahwa perbedaan adalah benalu dalam mewujudkan persatuan dan
persaudaraan. Menurut Syamsuddin Al-Qurtubi (w. 671), perbedaan yang tak di
benarkan ialah yang berpotensi pada perpecahan dan kehancuran.
Komentar
serupa di kemukakan oleh KH. Hasyim Asyari (w. 1366) dalam bukunya Al-Tibyan
fi Al-Nahyi an Muqatha’ati Al-Arham wa Al-Aqarib wa Al-Ikhwan, bahwa
perpecahan adalah faktor utama dari kelemahan, kekalahan dan kegagalan
sepanjang zaman. Bahkan tidak hanya itu, potensi lain dari perpecahan ialah
terjadinya chaos, yang merusak tatanan kehidupan berbangsa dan
timbulannya kehancuran yang tak bisa di hindari.
Oleh
karenanya, lanjut kiai Hasyim dalam Muqaddimah Qanun Al-Asasi li Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama’, berapa banyak bangsa-bangsa besar yang hidup makmur,
pembangunan merata, kemajuan terasa hingga pelosok negeri, dan pemerintahan
berjalan dengan baik, tidak lain berkat terjalinnya persatuan dan kesatuan
antar semua element masyarakat. Karenanya, sebagai bagian sunnatullah,
manusia selalu hidup berdampingan dan berinteraksi dengan yang lainnya.
Sehingga persatuan adalah sebuah keniscayaan!
Pada
akhirnya, perbedaan agama, ras, bahasa, atau bahkan afiliasi (pilihan) politik,
bukan lagi menjadi legitimasi untuk mengabaikan persatuan. Dan karenanya, Islam
mewanti-wanti pentingnya menghargai perbedaan dan merawat persaudaraan. Dalam
sepenggal hadis dlaif riwayat Al-Qadha’i ditegaskan, “Persatuan
adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab”. Wallahu a’lam.
Artikel
ini pertama kali dimuat di jalandamai(dot)org
M. Achfas Afandi
Seo Construction
I like to make cool and creative designs. My design stash is always full of refreshing ideas. Feel free to take a look around my Vcard.
- M. Achfas Afandi
- Februari 24, 1989
- 1220 Manado Trans Sulawesi
- contact@example.com
- +123 456 789 111
Posting Komentar