Islam Indonesia: Inspirasi Bagi Perdamaian Dunia
“Kita
perlu memperkenalkan ke publik Jerman, corak dan warna Islam yang lain. Islam
tidak identik dengan etnis tertentu. Islam yang dipraktikkan masyarakat
Indonesia adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu menjadi pelopor toleransi
di tengah ratusan kelompok etnis atas suku bangsa yang sangat beragam”.
Komentar
tersebut dikemukakan oleh Volker Berresheim, duta besar untuk Agama dan
Kebijakan Luar Negeri Republik Federal Jerman, dalam sebuah panel diskusi
bertajuk ‘Toleransi Islam di Dalam Masyarakat Plurikultural”, yang
digagas oleh KBRI Berlin pada 29 April 2019 silam. Acara ini berlangsung
menyusul meningkatnya kemajemukan (plurikulturalisme) masyarakat, yang
cenderung tidak disertai pengertian antar komunitas yang berbeda secara
sosio-kultural dan agama.
Gelaran
diskusi tersebut memang bukan yang pertama kali. Namun, sampai sejauh ini tema
moderasi beragama di Indonesia telah memikat banyak kalangan; dari pemerhati
dan tak sedikit dari kalangan akademisi. Berawal dari realitas tersebut, tidak
mengherankan jika tradisi keberagamaan di Indonesia tengah menjadi sorotan, yang
tak lain berkat keberhasilan menyudahi ketegangan dan konflik ditengah kelompok
masyarakat yang bersebrangan.
Oleh
karenanya, pendapat yang dikemukakan Volker itu, penulis kira tidak berlebihan
jika kemudian mereka belajar tentang toleransi dan isu-isu perdamaian di negera
kita. Sekalipun—hingga kini, aksi kekerasan dan bahkan terorisme masih menjadi
ancaman bersama, termasuk di Indonesia sendiri. Dalam situasi demikian,
hadirnya Islam Indonesia setidaknya telah memberikan harapan baru, berupa
artikulasi sikap moderat dalam menyikapi perbedaan di tengah masyarakat yang
majemuk.
Moderatisme Islam:
Karakteristik Islam Indonesia
Diskursus
Islam Indonesia, sebenarnya bukan gagasan baru dalam dinamika pemikiran di tanah
air. Azyumardi Azra, misalnya, pernah menulis sebuah artikel berjudul Islam
Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global. Dalam tulisannya itu, ia menegaskan
dalam memahami Islam Indonesia dapat dilakukan dengan keluar dari
persepsi-persepsi stereo-typical tentang Islam Indonesia dan berusaha
memahami kondisi yang terjadi di Indonesia dewasa ini.
Pada
bagian lain, Azra menambahkan tentang karakter Islam Indonesia (Face of
Indonesian Islam) berupa sikap wasatiyyah, yang mengedepankan toleransi
dan akomodatif baik dalam paham keagamaan atau aspek kehidupan lainnya. Paham
ini, oleh sementara kalangan, secara normatif merupakan ekpresi dari ummatan
wasatan yang berasal dari al-Qur’an surat al-Baqarah [02] ayat 143 (Prisma,
10/2010).
Dalam
buku Islam Moderat: Konsepsi, Interpretasi, dan Aksi, Danila Hilmi menilai,
konsep dan gagasan wasatiyyah ini, seringkali diartikan dengan
moderatisme, istilah yang pada dasarnya tidak dikenal dalam khazanah pemikiran
Islam klasik. Kendati demikian, penggunaan dan pemahaman istilah ini biasanya
merujuk pada padanan sejumlah kata dalam bahasa Arab, diantarnaya al-tawasuth
(moderat), al-tawazun (seimbang), dan al-i’tidal (adil).
Prinsip
wasatiyyah (moderatisme) tersebut, dalam beberapa tahun belakangan
memang tengah menyita banyak perhatian, yang tak jarang telah memunculkan sikap
optimistis dalam beragama. Di Indonesia sendiri, melalui Kementrian Agama
(kemenag), rajin menyuarakan program-program terkait pengarusutamaan moderasi
beragama, baik melalui sosialisasi, konfrensi internasional, dan yang teranyar
dengan terbitnya buku putih moderasi beragama.
Selain
keterlibatan pemerintah, aktualisasi moderatisme Islam tidak lepas dari peran
dan kontribusi dua organisasi keagamaan terbesar di tanah air: Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah, selain tentu saja tidak mengabaikan ormas-ormas moderat
lainnya. Namun, dominasi keduanya nampak nyata pada level kemasyarakatan,
melalui sikap “jalan tengah” yang bukan hanya dalam pemahaman dan praksis
keagamaan, tetapi juga dalam sosial, budaya, dan politik.
Kontribusi
NU dan Muhammadiyah, misalnya, dapat dilihat dari peran keduanya dalam kebangkitan
“Islam Kultural”, yang pada gilirannya memunculkan fenomena “kebangkitan Islam”
atau renaisans Islam Indonesia. Konsistensi
dua ormas keagamaan ini, dalam merawat kebinekaan dan keindonesiaan, berlangsng
dalam tempo cukup lama. Sehingga tak mengherankan, ketika beberapa cendikiawan
dalam sebuah panel diskusi di Oslo, Norwegia, mengusulkan keduanya di ganjar
nobel perdamaian.
Dalam
diskusi yang berlangsung pada pertengahan Juni silam itu, mengsung tema The Challenging
Islamic Extremism in Indonesia, Marte Nilson dan Trond Bakkevig, dua
peneliti dari Peace Research Institute Oslo (PRIO) Norwegia menegaskan,
Indonesia bisa menjadi contoh perkembangan moderatisme Islam bagi kehidupan
masyarakat global (The Jakarta Post, 27/05/2019).
Pengakuan
dan apresiasi dunia internasional atas dedikasi Islam Indonesia ini, sudah
selayaknya di respon oleh semua pihak; dari pemerintah, akademisi, dan yang
terpenting, keterlibatan ormas-ormas moderat—sebagai basis utama civil
society—tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan begitu, mengutip Azra,
Islam Indonesia kedepannya bisa menjadi model masyarakat muslim lain dalam
mewujudkan kehidupan lokal, regional, dan internasional yang lebih baik pada
hari ini dan masa depan. Semoga.
Artikel
ini pertama kali dimuat di jalandamai(dot)org
![bm](http://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYdMJK070sp6VJDQXsvtoeyuSgjkP4KwJI5bim86Do7veXJha3Kk0v6kvTwJEDHyq4cpj1Ztw9PU2l0aPxMccQ_3lEqmPzmUCt2PB1knqZyGtAo80_-YT7DRq8tsd9Yw/s220/foto+qu.jpg)
M. Achfas Afandi
Seo Construction
I like to make cool and creative designs. My design stash is always full of refreshing ideas. Feel free to take a look around my Vcard.
- M. Achfas Afandi
- Februari 24, 1989
- 1220 Manado Trans Sulawesi
- contact@example.com
- +123 456 789 111
Posting Komentar