Kamis, 11 Juli 2019

Islam Indonesia: Inspirasi Bagi Perdamaian Dunia


“Kita perlu memperkenalkan ke publik Jerman, corak dan warna Islam yang lain. Islam tidak identik dengan etnis tertentu. Islam yang dipraktikkan masyarakat Indonesia adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu menjadi pelopor toleransi di tengah ratusan kelompok etnis atas suku bangsa yang sangat beragam”.

Komentar tersebut dikemukakan oleh Volker Berresheim, duta besar untuk Agama dan Kebijakan Luar Negeri Republik Federal Jerman, dalam sebuah panel diskusi bertajuk ‘Toleransi Islam di Dalam Masyarakat Plurikultural”, yang digagas oleh KBRI Berlin pada 29 April 2019 silam. Acara ini berlangsung menyusul meningkatnya kemajemukan (plurikulturalisme) masyarakat, yang cenderung tidak disertai pengertian antar komunitas yang berbeda secara sosio-kultural dan agama.

Gelaran diskusi tersebut memang bukan yang pertama kali. Namun, sampai sejauh ini tema moderasi beragama di Indonesia telah memikat banyak kalangan; dari pemerhati dan tak sedikit dari kalangan akademisi. Berawal dari realitas tersebut, tidak mengherankan jika tradisi keberagamaan di Indonesia tengah menjadi sorotan, yang tak lain berkat keberhasilan menyudahi ketegangan dan konflik ditengah kelompok masyarakat yang bersebrangan.

Oleh karenanya, pendapat yang dikemukakan Volker itu, penulis kira tidak berlebihan jika kemudian mereka belajar tentang toleransi dan isu-isu perdamaian di negera kita. Sekalipun—hingga kini, aksi kekerasan dan bahkan terorisme masih menjadi ancaman bersama, termasuk di Indonesia sendiri. Dalam situasi demikian, hadirnya Islam Indonesia setidaknya telah memberikan harapan baru, berupa artikulasi sikap moderat dalam menyikapi perbedaan di tengah masyarakat yang majemuk.

Moderatisme Islam: Karakteristik Islam Indonesia
Diskursus Islam Indonesia, sebenarnya bukan gagasan baru dalam dinamika pemikiran di tanah air. Azyumardi Azra, misalnya, pernah menulis sebuah artikel berjudul Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global. Dalam tulisannya itu, ia menegaskan dalam memahami Islam Indonesia dapat dilakukan dengan keluar dari persepsi-persepsi stereo-typical tentang Islam Indonesia dan berusaha memahami kondisi yang terjadi di Indonesia dewasa ini.

Pada bagian lain, Azra menambahkan tentang karakter Islam Indonesia (Face of Indonesian Islam) berupa sikap wasatiyyah, yang mengedepankan toleransi dan akomodatif baik dalam paham keagamaan atau aspek kehidupan lainnya. Paham ini, oleh sementara kalangan, secara normatif merupakan ekpresi dari ummatan wasatan yang berasal dari al-Qur’an surat al-Baqarah [02] ayat 143 (Prisma, 10/2010).

Dalam buku Islam Moderat: Konsepsi, Interpretasi, dan Aksi, Danila Hilmi menilai, konsep dan gagasan wasatiyyah ini, seringkali diartikan dengan moderatisme, istilah yang pada dasarnya tidak dikenal dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Kendati demikian, penggunaan dan pemahaman istilah ini biasanya merujuk pada padanan sejumlah kata dalam bahasa Arab, diantarnaya al-tawasuth (moderat), al-tawazun (seimbang), dan al-i’tidal (adil).

Prinsip wasatiyyah (moderatisme) tersebut, dalam beberapa tahun belakangan memang tengah menyita banyak perhatian, yang tak jarang telah memunculkan sikap optimistis dalam beragama. Di Indonesia sendiri, melalui Kementrian Agama (kemenag), rajin menyuarakan program-program terkait pengarusutamaan moderasi beragama, baik melalui sosialisasi, konfrensi internasional, dan yang teranyar dengan terbitnya buku putih moderasi beragama.

Selain keterlibatan pemerintah, aktualisasi moderatisme Islam tidak lepas dari peran dan kontribusi dua organisasi keagamaan terbesar di tanah air: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, selain tentu saja tidak mengabaikan ormas-ormas moderat lainnya. Namun, dominasi keduanya nampak nyata pada level kemasyarakatan, melalui sikap “jalan tengah” yang bukan hanya dalam pemahaman dan praksis keagamaan, tetapi juga dalam sosial, budaya, dan politik.

Kontribusi NU dan Muhammadiyah, misalnya, dapat dilihat dari peran keduanya dalam kebangkitan “Islam Kultural”, yang pada gilirannya memunculkan fenomena “kebangkitan Islam” atau renaisans Islam Indonesia.  Konsistensi dua ormas keagamaan ini, dalam merawat kebinekaan dan keindonesiaan, berlangsng dalam tempo cukup lama. Sehingga tak mengherankan, ketika beberapa cendikiawan dalam sebuah panel diskusi di Oslo, Norwegia, mengusulkan keduanya di ganjar nobel perdamaian.

Dalam diskusi yang berlangsung pada pertengahan Juni silam itu, mengsung tema The Challenging Islamic Extremism in Indonesia, Marte Nilson dan Trond Bakkevig, dua peneliti dari Peace Research Institute Oslo (PRIO) Norwegia menegaskan, Indonesia bisa menjadi contoh perkembangan moderatisme Islam bagi kehidupan masyarakat global (The Jakarta Post, 27/05/2019).

Pengakuan dan apresiasi dunia internasional atas dedikasi Islam Indonesia ini, sudah selayaknya di respon oleh semua pihak; dari pemerintah, akademisi, dan yang terpenting, keterlibatan ormas-ormas moderat—sebagai basis utama civil society—tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan begitu, mengutip Azra, Islam Indonesia kedepannya bisa menjadi model masyarakat muslim lain dalam mewujudkan kehidupan lokal, regional, dan internasional yang lebih baik pada hari ini dan masa depan. Semoga. 

Artikel ini pertama kali dimuat di jalandamai(dot)org

Tags :

bm

M. Achfas Afandi

Seo Construction

I like to make cool and creative designs. My design stash is always full of refreshing ideas. Feel free to take a look around my Vcard.

  • M. Achfas Afandi
  • Februari 24, 1989
  • 1220 Manado Trans Sulawesi
  • contact@example.com
  • +123 456 789 111

Posting Komentar