Sabtu, 12 Maret 2016

Menggagas Reformulasi Dakwah

Langit petang baru saja menutupi jalanan kota Kairo. Sore itu, jalanan penuh sesak oleh penduduk kota usai menanggalkan aktifitas keseharian. Kesibukan tak terlihat justru terjadi di sebuah metro, tak seperti biasanya, cukup lengang tanpa aktifitas berarti. Kesempatan ini dialami oleh Fulan, remaja keturunan Arab-Indo, yang kebetulan tengah mengunjungi kota bersejarah tersebut. Begitu memasuki metro, ia lekas menerawang, mencari posisi yang tepat dan segera memutuskan untuk duduk di sebelah perempuan paruh baya.

Kesempatan ini telah membuat keduanya terlibat perbincangan hangat. “Anda dari mana, tuan?,” ujar perempuan itu memulai pembicaraan. “Indonesia,” jawab Fulan singkat. Obrolan keduanya tak terasa memasuki ranah ilmiah, topik utamanya tentang Islamologi. Mulai sejarah, konsepsi, gerakan dan perkembangannya. Analogi yang digunakan perempuan tersebut cukup menarik, begitu menguasai dan tanpa ragu, mengutip al-Qur’an dan hadist. Tak cukup sampai disitu, sesekali memadukan argumennya tersebut dengan nalar tasawuf al-Ghozali dalam Ihya Ulum ad-Din. Nampaknya ia begitu menguasai atau bahkan, hafal kandungan dalam kitab tasawuf tersebut. 

“Saya sangat kagum, Anda begitu pandai mengupas berbagai persoalan,” puji Fulan. “Terima kasih. Tapi maaf tuan, saya tak bisa berlama-lama berdiskusi dengan anda, sebentar lagi saya sampai,” pintanya. “Baiklah, sebentar saya ambilkan ransel anda.” Ujar Fulan seraya mengayunkan tangannya mengambil ransel yang tepat berada diatas perempuan tersebut. Namun sial, belum sempat memberikan, ransel keburu jatuh. Seketika, perempuan itu mengambil ransel miliknya. Saat itu Fulan hampir tak percaya, kaget bukan kepalang, terperajat begitu melihat ‘kalung salib’ menggelantung dari balik baju perempuan tersebut.

(Baca juga: Berhijrah Sebelum Terlambat)

Dalam pertemuan singkat itu, Fulan mendapatkan kepastian, jika perempuan tersebut adalah seorang misionaris. Ia hafal beberapa ayat al-Qur’an dan hadist, dari pertemuan ini pula, diketahui jika perempuan itu menguasai kandungan kitab Ihya Ulum ad-Din. Sebelum berpisah, perempuan tersebut meninggalkan sebuah pesan, “Yang aku takutkan dari (kebangkitan) orang Islam adalah ketika mereka menghadiri sholat Subuh sama banyaknya seperti menghadiri sholat Jum’at”, pesan perempuan tesebut pada Fulan. “Dan ingat!, yang menjadi objek kami adalah para remaja muslim. Kami tak memperdulikan orang tua diantara golongan kalian, tak berguna.” Tandasnya mengakhiri pertemuan keduanya.
 “Yang aku takutkan dari (kebangkitan) orang Islam adalah ketika mereka menghadiri sholat Subuh sama banyaknya seperti menghadiri sholat Jum’at”
Demikian kisah Habib Quraisy bin Baharun dari Cirebon. Sepenggal kisah diatas, belum termasuk serangkaian peristiwa-peristiwa serupa yang mengatasnamakan Islam dalam setiap gerakannya. Kisah tersebut sekaligus menjadi barometer, dalam berdakwah tak harus bertumpu dengan cara-cara lama. Sebab persoalan di masyarakat semakin komplek dan tuntutan yang di hadapi demikian beragam. Untuk itu diperlukan reformulasi dakwah, sebuah tahapan untuk mewujudkan poros dakwah yang senafas dengan tuntutan zaman. 

Langkah ini tentunya tetap harus berpegang pada metode dakwah klasik yang terlebih dulu memberikan hasil gemilang. Tulisan ini mencoba membaca ulang peta dakwah dari perspektif bahasa, sejarah, dan perkembangannya. Meskipun telah banyak tulisan-tulisan dengan tema serupa, paling tidak tulisan ini disajikan dari sudut pandang berbeda, yakni upaya naratif reformulasi dakwah. Sebuah usaha dalam mewujudkan prinsip dakwah yang moderat, hingga pada permasalahan paling prinsipil, berupa visi dan misi para aktifis dakwah. Hal ini hanya langkah awal, untuk selanjutnya diharapkan lahirnya gerakan-gerakan reformis dakwah. Sehingga problem apapun dan berbagai medan yang di hadapi, dapat dilalui oleh para aktifis dakwah kita.

Makna, Sejarah, dan Literasi
Secara leksikal kata ‘dakwah’ derivasi dari kata Da’a, Yad’u, Da’watan yang berarti imbauan, pemberian, atau lebih eksplisitnya, ajakan pada kebaikan. Kata da’watan yang berbentuk masdar (verbal noun) memberi arti ta’kid (sangat dianjurkan, pen). Sedangkan padanan kata dakwah adalah tabligh yang berarti menyampaikan atau seruan. Kedua kata tersebut pada dasarnya sama, menyampaikan atau ajakan pada kebaikan.

Sedangkan arti dakwah dalam Al-Qu’an sendiri, ada banyak ayat yang menjelaskan hal tersebut. Diantaranya surat an-Nahl 16:125, an-Nisa 4:65, dan an-Nur 24:51. Namun dari sekian banyak ayat yang menjelaskan prinsip-prinsip dakwah, hanya satu ayat yang dijadikan sandaran dasar atau fundamen pokok bagi metodologi dakwah. Ayat yang dimaksud adalah surat an-Nahl ayat 125. Ayat ini menjadi acuan dalam berdakwah, disamping ada beberapa fase yang mesti dilakukan. Diantaranya, seorang aktivis dakwah (da’i) dituntut menyampaikan dengan bijak (Bi al-Hikmah), menyampaikan pelajaran yang baik (mauidzoh al-hasanah), dan berdebat atau diskusi (al-Mujadalah).

Sementara itu, dalam sejarahnya salah satu keberhasilan dakwah Nabi Saw., diantaranya melalui pendekatan tradisi dan budaya, atau dapat diartikan akulturasi budaya; memasukkan ajaran-ajaran (syariat) Islam tanpa merubah pondasi awal tradisi dan budaya Arab jahiliyah. Nabi Saw. begitu menghargai tradisi dan budaya mereka, beliau tak melarangnya selagi tak bertentangan dengan syariat. Pesan Islam sebagai agama Rahmatan lil alamin tak henti-hentinya beliau wartakan kepada bangsa Arab kala itu. Sehingga mereka dapat dengan mudah menerima ajaran Islam tanpa menanggalkan tradisi lokal yang terlebih dahulu dianut. 

Syahdan, seorang sahabat, Auf bin Malik bekata, “Kami biasa meruqyah pada masa jahiliyah”. Kemudian kami mengadu pada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang itu”. Nabi segera meminta penjelasan tentang jimat (ruqyah) para sahabat. “Tak masalah selagi tak ada syirik”. Pungkas beliau kepada Auf bin Malik (Ibn Hajar al-Asqolani, 2006: X/195).

Sampai pada permasalahan yang cukup sakral, seperti ibadah Haji khususnya Sa’i, syariat yang dibawa beliau tak melakukan banyak perubahan, Nabi hanya mengajarkan bagaimana Sa’i yang sesuai dengan tuntunan syariat. Dikisahkan, semula Sa’i merupakan tradisi jahiliyah. Kala itu, di bukit Shofa dan Marwah terdapat berhala bernama Asaf dan Nai’lah, orang-orang jahiliyyah ketika Sa’i dengan menyebut kedua nama tersebut. Ketika Islam datang dan patung tersebut dihancurkan, orang Islam menolak Sa’i di tempat yang sama, mereka menilai tempat tersebut sebagai warisan Jahiliyah. Namun mereka harus menerima, sebab Allah melegalkannya (Muhammad Showi al-Masri, 2008: II/195).

Kisah serupa juga terjadi di tanah Jawa, pendekatan kultural Wali Sanga dinilai berhasil dalam menjembatani dilema ideologis kala itu. Sehingga melalui tangan dingin beliau tercipta tatanan masyarakat baru, masyarakat lokal yang tetap melakukan ajaran leluhur namun telah diakomodir oleh syara’. Oleh Wali Sanga, langkah dialogis ditempuh, beliau tak memberangus tradisi dan ritual keagamaan yang telah membumi. Namun lebih arif dalam menilai dan memutuskan. Langkah demikian tentunya dilalui dengan bertahap.

Sejalan dengan hal ini, penulis teringat catatan Izuddin bin Abd Salam dalam bukunya, Qowaid al-Ahkam Fi al-Masalih al-Anam, menurutnya, dalam menghadapi kemungkaran yang terjadi, ketika mampu dihilangkan sekaligus, maka wajib melakukannya. Jika tidak, maka harus bertahap, dari taraf mungkar terendah sampai yang terberat. Hal demikian bisa dilakukan dengan tangan (fisik) ataupun lisan.

Sebenarnya, bagi umat Islam telah diajarkan bagaimana mewujudkan dakwah yang relatif mudah, adaptif dan tentunya mudah diterima. Dalam mewujudkan hal ini, sebagaimana yang diajarkan Wali Sanga, mula-mula kita diharapkan untuk mengambil simpati publik atau objek dakwah, mengenali tradisi dan budaya mereka, baru kemudian menyisipkan materi-materi dakwah. Bahkan untuk menghadapi (baca: menilai) tradisi dan budaya masyarakat, sebuah nasihat diberikan Al-Ghozali dalam masterpiece-nya, Ihya Ulum ad-Din. Diterangkan, dalam mengikis kemungkaran yang terjadi, beliau mengibaratkan dengan sebuah analogi; membersihkan darah dengan air kencing, kemudian mensucikan air kencing dengan air. Cara ini di tempuh jika air tak mampu mensucikan darah.

Untuk itu, langkah kreatif perlu diambil untuk segera merumuskan metode dakwah yang benar-benar ‘segar’ dan tak lekang di makan waktu. Yang dimaksud adalah mencari titik temu kemerosotan nilai-nilai adiluhung, minat objek dakwah dan peran serta aktivis dakwah. Sehingga objek apapun yang dihadapi, bagi juru dakwah, akan mudah diterima.

Reformulasi Dakwah
Keberhasilan dakwah di Nusantara melalui peran Wali Sanga, tentu bukan untuk dijadikan kebanggaan ditengah kemerosotan nilai adiluhung seperti saat ini. Kebutuhan masyarakat yang beragam, tak etis ketika masih mengandalkan cara-cara lama. Karena dewasa ini, objek berdakwah bukan lagi orang-orang yang telah berusia udzur yang mendengarkan materi dakwah sembari mengantuk di sudut surau atau masjid. Namun, seluruh lapisan masyarakat membutuhkannya. Karena mereka sedang mengalami ‘kemarau’ -kalau boleh dikatakan demikain- iman ditengah hingar-bingar erotisme kehidupan.

Meski demikian, bagaimanapun metode dakwah yang digunakan harus tetap berpegang pada prinsip yang tertuang dalam Surat An-Nahl 16:125, Allah Swt. berfirman: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Ayat ini mengajarkan pokok dalam berdakwah, diantaranya:
Pertama, Mengambil kearifan (al-Hikmah), Menurut pemaknaan, hikmah ialah menyampaikan yang hak dan melakukan hal-hal yang baik. Sedangkan menurut pakar bahasa (linguis), kata hikmah diartikan keadilan (al-Adl), sabar atau murah hati (al-Halum), dan kenabian (an-Nubuwah) (Mausuah Fiqhiyyah, tt: 8/67).

Pada intinya, al-Hikmah diartikan sebagai pendekatan bijaksana, layaknya yang disampaikan aktivis dakwah (da’i) tak ada paksaan. Disamping itu, sebagai metode yang berprinsip keterbukaan, al-Hikmah dapat diartikan pula sebagai pengakuan pada hak-hak setiap individu. Hal demikian selaras dengan keberhasilan dakwah Wali Sanga, mereka begitu demokratis dan menghargai kearifan lokal.

Kedua, Menyampaikan pelajaran yang baik (mauidzoh al-hasanah), secara literal diartikan sebagai jalan kebaikan (turuq al-Hasanah), mengasihi (targhib), menakuti (tarhib) (Muhammad Showi al-Masri, 2008: II/296). Sederhananya, mauidzoh al-hasanah ialah menyampaikan pelajaran dengan tutur kata yang baik, santun, dan tak sampai menyinggung perasaan (satm atau ida’). Dan terpenting,  untuk implementasi di zaman sekarang diperlukan reformulasi dakwah, diharapkan materi yang disampaikan tak kaku, rigid dan tentunya mudah diterima.

Ketiga, berdebat atau diskusi (al-mujadalah). Debat pada dasarnya sebuah upaya mempertahankan pendapat, dalam hal ini tentu pendapat mempertahankan aqidah atau idiologi Islam ahl-sunah wa al-jama’ah. Sehingga Islam bisa diterima bukan hanya melalui al-hikmah dan mauidzoh al-hasanah, namun dapat melalui debat atau argumen ilmiah.

Dalam merumuskan ketiganya, diperlukan upaya-upaya rasional dalam kerangka reformulasi dakwah. Reformulasi bukan hanya di arahkan pada managemen dakwah semata, namun lebih eksplisit pada pembentukan visa dan misi para aktivis dakwah, serta membekali mereka dengan keilmuan yang mumpuni. Upaya ini diharapkan akan tercipta aktivis dakwah yang menguasai di segala medan, dan mampu menerjemahkan pelbagai persoalan di masyarakat dengan arif dan bijak. 

(Baca juga: Belenggu Ngunduh Mantu)

Kerangka ini, sebenarnya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. dan di tanah Jawa melalui Wali Sanga. Melalui proses yang bertahap serta dilakukan oleh para ahli, menjadi salah satu keberhasilan dakwah beliau. Kisah perempuan misionaris dan seorang lelaki di atas, kiranya cukup memberikan pelajaran. Medan dan tantangan juru dakwah sangat beragam, diantaranya, mereka tengah dihadang oleh belenggu, berupa keterbukaan dalam mempelajari kehendak disekitar mereka. Jika mereka mau keluar dari belenggu yang terjadi, bukan tak mungkin dakwah yang dilalui akan berjalan mulus tanpa hambatan.
"Reformulasi bukan hanya di arahkan pada managemen dakwah semata, namun lebih eksplisit pada pembentukan visa dan misi para aktivis dakwah, serta membekali mereka dengan keilmuan yang mumpuni"
Mewujudkan semua itu tentu tak mudah, beruntung seorang pembelajar memberikan formulasi terbaik mengenai hal ini. Beliau adalah al-Imam Abdullah bin Husain bin Tohir, sebagaimana dikutip al-Habib Zen bin Ibrahim bin Smith dalam bukunya, Manhaj as-Sawi Syarh Usul Toriqoh al-Sa’adah Ali’ Ba’alawi, Abdullah bin Husain menerangkan, dalam kerangka menegakkan kebenaran atau mencegah kemungkaran, perlu dilakukan dengan santun dan menebar kasih sayang kepada sesama mahkluk. 

Hal ini tentunya dilalui dengan bertahap. Jelasnya, lanjut Abdullah bin Husain, ketika melihat seorang yang meninggalkan kewajiban syariat, yang harus dilakukan adalah, memerintahkan kepada mereka untuk menjalankannya, secara bertahap dari yang paling mudah sampai paling sukar di lakukan (al-aham fa al-aham). Ketika mereka telah mengerjakan, sesuai instruksi kita, maka beralih pada yang lain, yakni lekas memerintahkan untuk melakukan kewajiban berbeda.

Terlepas dari semua itu, membekali para aktivis dakwah dengan keilmuan yang mumpuni menjadi sebuah keniscayaan. Karena bagaimanapun, generasi sekarang di kepung oleh budaya hedonis, individualitas, dan kapitalistik. Untuk masuk kewilayah tersebut, para aktivis dakwah harus memiliki kopetensi yang memadai (Abdul Basit, 61:2008). Sebagai bentuk spirit reformulasi dakwah, penulis mencoba untuk tetap berpegang pada diktum, “Saya optimis Islam bisa eksis bila di dakwahkan dengan santun-ramah, tak dengan marah-marah”.

Dimuat di portal Robitoh Ma'ahid Islamiyyah Jawa Tengah (RMI Jateng).

Tags :

bm

M. Achfas Afandi

Seo Construction

I like to make cool and creative designs. My design stash is always full of refreshing ideas. Feel free to take a look around my Vcard.

  • M. Achfas Afandi
  • Februari 24, 1989
  • 1220 Manado Trans Sulawesi
  • contact@example.com
  • +123 456 789 111

Posting Komentar