Sabtu, 05 Maret 2016

Agus Mulyadi dan Elegi Jomblo Ngenes

Sumber gambar: agusmulyadi.web.id
Agus Mulyadi, akrab disapa Gus Mul. Pertama kali saya mengenalnya, kalau tidak salah, di penghujung senja bulan Agustus satu tahun silam. Dalam pertemuan itu, tanpa sadar, telah membuat naluri ‘kelanangan’ saya membuncrah keluar batas nalar. Duduk penyebabnya sederhana, pada waktu itu saya berasa menemukan suplemen kebangkitan setelah sekian lama terpuruk dalam status partiarki: “Jomblo”. Tidak bermaksud mendramatisir, sejujurnya, istilah ini telah menyejarah dalam laku-kehidupan saya. 

Tentu pertemuan itu terjadi dalam ruang imaji, pertemuan yang dipisahkan layar monitor, yang tersekat batas ruang dan status sosial: saya sebagai pembaca, sementara Gus Mul sebagai penulis. Berawal dari pertemuan singkat itu, saya berkesimpulan selain seorang blogger, Gus Mul juga merupakan penulis yang cukup produktif dalam merajut ‘benang-benang’ kehidupan pribadinya, menjadi tulisan ringan yang berkelas. Diantara kisah pribadinya, dengan tanpa malu, ia menguliti status ke-jombloan-nya yang telah menahun dan mengerak.

***
Demikian sosok almukarom Gus Mul yang saya kenal, sebuah tahapan perkenalan yang begitu cepat dan dibuat sesingkat-singkatnya. Sementara itu, kali kedua mengenalnya bermula melalui nasib baik yang menghampiri saya, kala itu Gus Mul dengan legowo mengirimkan satu ekslempar karya terbarunya yang bertitel Bergumul dengan Gus Mul. Atas kebaikannya, saya kira berkewajiban membuat sedikit catatan ringkas tentang buku tersebut, setidaknya semacam resensi, begitu! 

(Baca juga: Amanah dan Sepenggal Hikayat)

Begitu melihat buku belio, saya langsung disuguhkan pemandangan yang tak biasa: cover berwarna pink dan gaya gigi Gus Mul yang menganga. Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan Gus Mul yang tercecer di dinding maya. Sekalipun begitu, yang menarik dari buku ini adalah, seperti buku pertamanya: Jomblo tapi Hafal Pancasila, Gus Mul menampilkan catatan-catatan lepas yang yang, tanpa dinyana, telah menampilkan karakteristik tulisan Gus Mul sendiri: mengalir, ringan dan sesekali, gapleki juga. 

Membaca tulisan-tulisan Gus Mul, bagi saya, seperti mendengarkan dongeng dan kita, menjadi bagian dari cerita tersebut. Bahkan—seringkali—lewat racikan kata demi kata, Gus Mul menjadikan pembaca bukan saja sebagai pemain figuran, tapi tokoh utama. Dan lagi, Gus Mul sukses menghadirkan laku-kehidupan sebagai objek karangan. Sebagai seorang blogger, hadirnya buku bertitel Bergumul dengan Gus Mul ini, telah menambatkan eksistensi Gus Mul sebagai blogger sekaligus penulis. Buku tersebut lahir dari kreatifitas: berawal dari blogging, menulis, dan ketelatenan. Dan saya kira, tidak semua blogger dapat melakukan hal demikian, perlu keuletan dan atau, sejauh pengamatan saya, respon ‘trengginas’ dalam membaca setiap kesempatan.

Laku Kehidupan
Secara umum, buku kedua Gus Mul ini mengambil landscape pergumulan di sekitarnya: keluarga, teman, dan pastinya, pasangan hidup. Sekalipun yang disebut terakhir terlalu canggung dan tak jarang, membuat Gus Mul mati gaya. 

Di bagian awal, Gus Mul langsung mendramatisir perjalanan karirnya, dari satu kota ke kota lain. Bisa jadi perjalanan tersebut membuatnya bermetamorfosa menjadi Gus Mul dalam ‘wujudnya’ yang lebih kekinian, yakni Gus Mul yang begitu dikenal karena kreatifitas dan tentunya, trengginas. Dibagian lain, Gus Mul langsung menukik tajam soal perjalanan asmara. Awalnya ia menceritakan kota kelahirannya, Magelang dan tak dinyana, diakhir tulisan, sebuah penyesalan klise meluncur begitu saja, "Ayolah, Magelang memang kota sejuta bunga, tapi perlu sampean tahu, kumbangnya ada dua juta" (hal. 11).  
 "Bahkan, penolakan kadang menjadi titik balik untuk mencapai kabahagiaan yang lebih tinggi"
Disamping itu, menikmati tulisan Gus Mul seperti menengguk secawan madu: legit, mengalir dan sesekali bermuatan pitutur atau nasihat. Tentu sesuatu yang jarang kita temukan. Sekalipun bernada pitutur, Gus Mul menyajikannya dengan gaya guyon yang khas. Katanya, soal asmara, penolakan tak selamanya menjadi puncak kegagalan. Bahkan, penolakan kadang menjadi titik balik untuk mencapai kabahagiaan yang lebih tinggi (hal. 15). Begitulah, nasihat ini menjadi semacam ‘auto-sugesti’ kebangkitan bagi para jomblo. 

Bagian yang tak kalah penting, Gus Mul mengisahkan lingkungan sekitarnya. Pada bagian ini, tulisan-tulisan Gus Mul nampak menganggkat kisah nyata. Pergumulan dengan keluarga dan teman sepermainan, menjadi narasi tulisan-tulisan yang terus mengalir. Tak hanya tempat, tokoh dalam tulisan-tulisan Gus Mul juga disajikan apa adanya. Dan itu yang menarik. Gus Mul, sebagaimana penulis lain, mempunyai karakteristik tersendiri. Kepakarannya dalam mengolah kata, tanpa tedeng atau filter, menjadi bagian yang patut diperhitungkan. Satu hal yang perlu dicatat, Gus Mul mempunyai selera humor cukup tinggi, dan itu yang nampak dari tulisan-tulisannya.

Ada cerita yang lentur mengenai suasana, misalnya, dalam momen tertentu, keterlibatan Gus Mul bersama geng koplo, sebenarnya hanya kisah-kisah keseharian biasa. Namun ditangan Gus Mul, kisah-kisah itu mampu disajikan memikat dan menghibur. Umpamanya tentang tato, dalam pandangan masyarakat, si empunya tato adalah sosok garang, kuat dan berani. Dan lagi, mereka termasuk golongan pilih tanding. Maka tak heran, sewaktu berlangsung perlombaan Agustus-an, tepatnya panjat pinang, Gus Mul dan geng koplo yang bertato itu, punya beban mental. Badan kekar dan bertato, mengisyaratkan kekuatan mereka. Tapi nyatanya, mereka tumbang begitu saja (hal. 131). 

(Baca juga: Belenggu Ngunduh Mantu)

Ada lagi tentang nasib yang menimpa Mas Jatmiko, gara-gara tato yang melekat di badannya. Terpaksa ia harus mengerang kesakitan setiap kali menghapus koleksi tatonya. Pasalnya saat itu, tengah gencar aksi Petrus (Penembak Misterius) orde baru. Dalam catatan Petrus, semua preman harus di berangus, dan preman itu yang bertato (hal. 191-192). 

Ruang imajinasi yang demikian luas, membuat Gus Mul mengolahnya menjadi materi yang tak habis di tulis. Soal asmara, sudah tentu. Gus Mul juga mengadopsi kejadian kanak-kanak yang membentuk pengalaman, kisah geng koplo hingga asmara emak-bapak. Tak jarang, Gus Mul juga menulis tentang kejadian-kejadian unik yang pernah di alami. Kejadian-kejadian itu yang, oleh Gus Mul, kemudian di olah menjadi catatan-catatan pribadinya. Dalam kesimpulan saya, entah benar atau tidak, tulisan-tulisan Gus Mul ini merupakan hasil, yang dalam bahasa Gus Mul, pergulatan spiritual yang cukup mendalam.

Dari sekian topik tulisan, terdapat pokok permasalah yang, oleh Gus Mul, nampak menunjukkan kepakarannya, yakni dalam mengurai keruwetan asmara. Bahkan sangat pantas jika, berkat kepeduliannya pada nasib Jomblo, Gus Mul ditambatkan sebagai seorang praktisi, pemerhati dan penggiat per-jomblo-an. Dan bukan tidak mungkin dikemudian hari, Gus Mul bakal menjadi Mario Teguh-nya para jomblo.
 “Jika Tuhan menciptakan bumi Pasundan ketika tengah tersenyum, maka Gus Mul diciptakan ketika Tuhan tengah murung”
Hanya saja, status jomblo yang enggan nyingkrih dari Gus Mul ini, nampaknya menjadi semacam duri dalam buah durian. Betapapun pendihnya menanggung status jomblo, itu tak bakal berasa buat Gus Mul. Namun, melihat nasib yang kurang baik itu, kalau boleh saya analogikan dengan tlatah Pasundan, kira-kira demikian: “Jika Tuhan menciptakan bumi Pasundan ketika tengah tersenyum, maka Gus Mul diciptakan ketika Tuhan tengah murung”. 

Akhirnya, bagi saya, pembacaan atas tulisan-tulisan Gus Mul terdapat persoalan lain yang cukup asasi! Aktifitas ngeblog yang biasanya berkutat seputar teknik seo, perang keyword dan segenap ‘keruwetan’ adsense yang prosedural. Oleh Gus Mul diramu dengan cara berbeda, yakni dengan menghadirkan olah kreatifitas berupa tulisan-tulisan ringan, menghibur dan tentunya, tetap berada di rel ‘pertarungan’ visitor blog pribadinya. Dan lebih lagi, jika kemudian tulisan-tulisannya itu dapat di bukukan dan di nikmati oleh khalayak luas. 

Identitas buku:
Judul            : Bergumul dengan Gus Mul  
Penulis          : Agus Mulyadi
Penerbit        : Mediakita
Tebal            : 208 halaman

Tahun terbit   : 2015

Catatan:

  • Resensi ini dibuat berawal dari terpilihnya blog saya (www.achfasafandi.web.id) menjadi satu dari lima blog yang mendapatkan buku gratis dari Agus Mulyadi dengan mahar, saya harus membuat resensi tentang buku tersebut. Karena blog yang lama (www.achfasafandi.web.id) telah disuspend, maka untuk resensi saya publish di blog yang baru (www.ikumaujud.web.id).
  • Tulisan ini sengaja dibuat cukup panjang, hingga tidak layak disebut resensi. Untuk menggarapnya, kira-kira saya memerlukan waktu 1,5 tahun sejak pertama kali buku tersebut terbit. Demikian, salam jabat-erat!

Tags :

bm

M. Achfas Afandi

Seo Construction

I like to make cool and creative designs. My design stash is always full of refreshing ideas. Feel free to take a look around my Vcard.

  • M. Achfas Afandi
  • Februari 24, 1989
  • 1220 Manado Trans Sulawesi
  • contact@example.com
  • +123 456 789 111

Posting Komentar