Selasa, 05 November 2019

Maulid dalam Implementasi Kultural

Maulid dalam Implementasi Kultural

Maulid nabi adalah momen kebangkitan. Seperti momen (baca: ritual) keagamaan pada umumnya, momen satu ini telah mengajarkan tentang kepasrahan, nasihat dan yang lebih penting—termasuk yang membedakan dengan lainnya—mengajarkan keteladanan antara ‘kita’ sebagai umat dan ‘dia’ sebagai pemberi syafaat. Pemahaman ini bukan saja berdasarkan dalil yang terbentang luas, tapi yang tidak bisa diabaikan adalah, dalam maulid kita di ajarkan untuk saling mengasihi, mengenal, dan mejaga kerukunan antar sesama. 

Jumat, 29 April 2016

Belenggu Ngunduh Mantu

Belenggu Ngunduh Mantu

Malam di penghujung bulan Januari turun begitu cepat. Sang rembulan masih tetap terpaku, bahkan ketika angin mulai bertiup kencang, malam yang kian larut, ia tetap tak bergeming. Demikianlah, malam yang –sepertinya—murung tapi tak menyurutkan niatan tiga sekawan; Warjo, mbah Giman dan Ahmad, untuk sekedar berkumpul singkat. Bahkan satu perhitungan telah di sepakati, pertemuan mereka di anggap usai jika telah mengahabiskan segelas kopi. Dan malam itu, obrolan renyah tengah berlangsung di kedai mang Dikun.
 
***  
Kedai Mang Dikun, 20:30.
Lokasinya mudah di  temukan, dekat pertigaan desa, tak jauh dari sungai yang membelah ruas kampung. Oleh penduduk sekitar, tempat ini di kenal—bahkan cukup kesohor—dengan nama ‘kedai mang Dikun’. Ketenaran kedai satu ini sebab dua hal: pertama, keunikan racikan kopi yang di sajikan. Kedua; keramahan sang empunya. Keunikan, atau lebih tepatnya racikan, kedai satu ini terletak pada sentuhan dan rasa yang di tawarkan. Citarasa kopi tumbukan dengan campuran rempah-rempah, sehingga aroma yang menyembul begitu kuat dan, khas tentunya. Sementara yang kedua, tak perlu di tafsiri lebih jauh.

Pembawaan yang humoris dan tak jarang, mengeluarkan joke-joke segar, cukup menarik hati pelanggan, termasuk diantaranya tiga sekawan; Warjo, Ahmad dan Giman. Selama sepekan, di pastikan ketignya tidak ernah absen, barang satu hari. Dan malam itu, ketiganya tengah terlibat perbincangan ringan.

“Mad, sampean sudah ngomong sama pak Ustadz tentang masalah saya”, tanya Giman pada Ahmad mengawali pembicaraan.

”Belum”.
  
(Baca juga: Menggagas Refolmulasi Dakwah)

“Mau matur gimana, lah wong saya saja repot ngeramut sawah. Belum lagi saya endak enak setiap kali ketemu pak Ustadz”, jawab Ahmad.
   
Sebelumnya, tiga hari yang lalu, Giman meminta pada Ahmad agar mencarikan solusi perihal masalah yang tengah di hadapinya. Masalah ini menyangkut kegalauan Giman tentang rencana pernikahan andiknya, galau bukan karena ia bakal di ‘salip’ oleh adiknya, tapi ini menyangkut tinjauan hukum perihal masalahnya tersebut. Duduk masalahnya bermula tatkala kelaurga Giman berencana menutup akses jalan raya, sebagai lokasi hajatan; ngunduh mantu. Mengingat lokasi gedung serba guna, sebagai alternatif, terletak cukup jauh dari rumahnya.

“Sudah Man begini saja”, serga Warjo sembari sesekali menikmati seduhan kopi rempah-rempah. Jari telunjuknya terus bergerak, melepaskan sisa-sisa abu di ujung rokok.

“Kalau begini gimana, besok pagi saya yang akan matur ke pak Ustadz”.
 
“Kalau sampean bersedia, bagus itu Jo”, sela Ahmad.
 
“Sampean sendiri gimana, Man? Endak keberatan toh, seandainya Warjo yang menyampaikan masalahmu itu ke pak Ustadz”, tanya Ahmad pada mbah Giman.
 
“Ya..., ndak masalah”, jawab Giman singkat.
 
“Ya sudah! Apa yag harus saya sampaikan ke pak Ustadz”.
 
“Begini, Jo!”, respon Giman menanggapi usulan Ahmad.

Giman lekas menata posisi; ‘bersandar’, dan berulang kali mengaduk-aduk gelas di depannya, nampak berusaha mencapur sesuatu; gula dan kopi. Sekalipun ia sadar, gula sudah larut sejak beberapa saat sebelumnya. Bahkan sejak air panas, untuk pertama kalinya, menyentuh dasar gelas. Begitulah Giman, hanya gaya berinteraksi.
 
Seperti Giman, Ahmad dan Warjo juga tengah menikmati segelas kopi kesukaannya. Bedanya, kedua karib Giman ini, selain penikmat kopi juga pecandu rokok kelas berat. Sementara Giman, hanya penikmat kopi, tanpa rokok. Dan saat itu, Giman mulai berkisah.
 
“Oalah.., Cuma itu toh. Ya besok saya tak coba tanya ke pak Ustadz”, tegas Warjo begitu Giman mengakhiri ceritanya.
 
“Ya wis, saya tunggu hasilnya”, saut Giman.

***
Halaman rumah dengan cat putih itu cukup teduh. Pepohonan yang rindang dan suara gemericit burung piaraan, semakin menambah keteduhan. Sang empunya, oleh penduduk sekitar, biasa di panggil pak haji Qomar atau pak ustadz. “Pembawaannya ramah”, kata para tetangga. Sementara yang lain menimpali, “O ya.., pak Ustad itu juga murah senyum, loh!”. Satu sama lain saling menyaut, sementara yang diam hanya mengamini. Demikianlah, setiap kali penduduk kampung membicarakan sosok ustadz Qomar. Dan pagi yang teduh, mengantarkan Warjo menuju kediaman pak Ustadz.

(Baca juga: Amanah dan Sepenggal Hikayat)
 
“Silahkan masuk pak Warjo”, sambut pak Ustadz. Setelah keduanya saling bertukar kabar, Warjo langsung mengutarakan maksud kedatangannya.
 
“Itu loh pak Ustadz, Giman”. 
“Ada apa dengan pak Giman?”, sela pak Ustadz.
 
“Mohon maaf sebelumnya, begini pak Ustadz..”. Warjo langsung berkisah perihal kemasghulan Giman, mulai dari rencana hajatan yang menutup akses jalan raya, hingga alternatif yang bisa di tempuh, menyewa gedung serba guna, yang sebenarnya cukup riskan terwujud; mengingat jarak yang jauh dan harga sewa, termasuk katring, cukup mahal. Dan kehadiran Warjo kali ini, bukan hanya meminta nasihat, tapi mencari solusi mengenai kegalauan Giman. Karena yang di datangi pak ustadz, tentu yang dituju penyelesaian masalah menurut hukum Islam (fiqh). Kira-kira begitu. 
 
“Begitu ya, pak Warjo..”. Belum sempat Warjo menimpali, pak ustadz kembali melanjutkan omongannya.

“Dilematis..”, imbuhnya. Pak ustadz nampak nampak serius, tapi dengan gaya tetap rileks, begitupun dengan Warjo, terus memperhatikan dan sesekali membubuhkan coretan di selebar kertas. 
Disaat yang sama, pak Ustadz mendadak bangkit, masuk kedalam dan tak berapa lama kembali dengan membawa beberapa buku atau tepatnya, kitab. Dan meletakkannya di atas meja. “Maaf ya pak Warjo, mau saya cari dulu jawabannya. Saya kok agak ragu!”, pinta pak Ustadz. 
Pak Warjo hanya mangut-mangut, mengiyakan permintaan pak Ustadz. “O ya, silahkan kopinya di minum”, kata Pak Ustadz kepada Warjo. 
“Begini pak Warjo..”, suara pak Ustadz membangunkan lamunan Warjo. Ia lekas konsentrasi, kembali mengambil bolpoint dan selembar kertas; bersiap menuliskan sesuatu yang ia dapat. Sementara pak ustadz terus membolak-balik buku-buku di depannya. Sekalipun tak begitu mudheng, Warjo cukup lanyah mengeja nama buku-buku itu—diantaranya dan yang terus di amati pak ustadz—adalah, Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah dan Hasyiyah Al-Jamal ala  Al-Minhaj. “Keduanya seperti kitab babon pak ustadz, tapi entahlah”, gumam Giman. 
“Cukup dilematis..”, pak ustadz kembali mengulangi perkataanya dan kemudian mulai bertutur. Dalam penuturannya, ustadz Qomar menyatakan jika masalah itu, menutup jalan raya untuk keperluan tertentu, prinsip dasarnya di perbolehkan.  
 
Dalam kesempatan itu, pak ustadz menegaskan, kemaslahatan umum (marafiq al-ammah) yang dalam kondisi tertentu, terjadi interaksi banyak orang, sejatinya di perbolehkan apabila terdapat kemanfaatan. Termasuk juga dalam pemanfaatan fasilitas umum, seperti kasus pak Giman. “Ingat, yang perlu di perhatikan..!”, tegas pak Ustadz yang justru membuat Warjo bersemangat.
“Tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”, lanjutnya mengutip sebuah hadits.
Pemanfaatan fasilitas umum itu, jika tidak menimbulkan keresahan atau dalam bahasa lain, membahayakan (madlorot). Jika hal itu sampai terjadi, tentu tidak boleh, “Karena bagaimanapun suatu tindakan yang dapat membahayakan orang lain, tidak di benarkan”, tutur pak Ustadz memberikan alasan. “Tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”, lanjutnya mengutip sebuah hadits.

“Solusinya bagaimana, Ustadz?”, sergah warjo.
 
“Lah itu...”, pak Ustadz menimpali. Kemudian kembali menuturkan, katanya, yang terjadi di lapangan bagaimana. Jika sampai mengganggu pengguna jalan atau bahkan sampai terjadi kecelakaan yang di picu pemblokiran jalan, tentu tidak boleh dan harus mencari solusi, misalnya, gedung serbaguna, sekalipun terlampau jarak yang jauh. Jika masih tetap memaksa, pihak penyelenggara harus menjamin keselamatan pengguna jalan dan tentunya, “Perlu melewati prosedur perizinan dari pihak terkait”, tandas pak Ustadz dan kemudian ia mengutip satu keterangan, menurutnya: “Mengesampingkan dampak negatif (mafasid) dan mendahulukan yang positif (masolih)”.

“Mengesampingkan dampak negatif (mafasid) dan mendahulukan yang positif (masolih)”.
Penjelasan pak Ustadz cukup membuat Warjo tenang hati. Setidaknya beban yang menggelanyut di pundaknya telah terselesaikan, tinggal satu hal yang perlu ia lakukan, menyampaikan hasil pertemuan ini pada Giman, secepatnya. Usai kembali berbincang-bincang ringang, Warjo menyampaikan pamit, “Terima kasih pak ustadz, maaf sudah merepotkan, saya pamit pulang dulu”, katanya seraya berdiri dan menyodorkan tangan. Dan keduanya pun berpisah. 

Sabtu, 12 Maret 2016

Menggagas Reformulasi Dakwah

Menggagas Reformulasi Dakwah

Langit petang baru saja menutupi jalanan kota Kairo. Sore itu, jalanan penuh sesak oleh penduduk kota usai menanggalkan aktifitas keseharian. Kesibukan tak terlihat justru terjadi di sebuah metro, tak seperti biasanya, cukup lengang tanpa aktifitas berarti. Kesempatan ini dialami oleh Fulan, remaja keturunan Arab-Indo, yang kebetulan tengah mengunjungi kota bersejarah tersebut. Begitu memasuki metro, ia lekas menerawang, mencari posisi yang tepat dan segera memutuskan untuk duduk di sebelah perempuan paruh baya.

Kesempatan ini telah membuat keduanya terlibat perbincangan hangat. “Anda dari mana, tuan?,” ujar perempuan itu memulai pembicaraan. “Indonesia,” jawab Fulan singkat. Obrolan keduanya tak terasa memasuki ranah ilmiah, topik utamanya tentang Islamologi. Mulai sejarah, konsepsi, gerakan dan perkembangannya. Analogi yang digunakan perempuan tersebut cukup menarik, begitu menguasai dan tanpa ragu, mengutip al-Qur’an dan hadist. Tak cukup sampai disitu, sesekali memadukan argumennya tersebut dengan nalar tasawuf al-Ghozali dalam Ihya Ulum ad-Din. Nampaknya ia begitu menguasai atau bahkan, hafal kandungan dalam kitab tasawuf tersebut. 

“Saya sangat kagum, Anda begitu pandai mengupas berbagai persoalan,” puji Fulan. “Terima kasih. Tapi maaf tuan, saya tak bisa berlama-lama berdiskusi dengan anda, sebentar lagi saya sampai,” pintanya. “Baiklah, sebentar saya ambilkan ransel anda.” Ujar Fulan seraya mengayunkan tangannya mengambil ransel yang tepat berada diatas perempuan tersebut. Namun sial, belum sempat memberikan, ransel keburu jatuh. Seketika, perempuan itu mengambil ransel miliknya. Saat itu Fulan hampir tak percaya, kaget bukan kepalang, terperajat begitu melihat ‘kalung salib’ menggelantung dari balik baju perempuan tersebut.

(Baca juga: Berhijrah Sebelum Terlambat)

Dalam pertemuan singkat itu, Fulan mendapatkan kepastian, jika perempuan tersebut adalah seorang misionaris. Ia hafal beberapa ayat al-Qur’an dan hadist, dari pertemuan ini pula, diketahui jika perempuan itu menguasai kandungan kitab Ihya Ulum ad-Din. Sebelum berpisah, perempuan tersebut meninggalkan sebuah pesan, “Yang aku takutkan dari (kebangkitan) orang Islam adalah ketika mereka menghadiri sholat Subuh sama banyaknya seperti menghadiri sholat Jum’at”, pesan perempuan tesebut pada Fulan. “Dan ingat!, yang menjadi objek kami adalah para remaja muslim. Kami tak memperdulikan orang tua diantara golongan kalian, tak berguna.” Tandasnya mengakhiri pertemuan keduanya.
 “Yang aku takutkan dari (kebangkitan) orang Islam adalah ketika mereka menghadiri sholat Subuh sama banyaknya seperti menghadiri sholat Jum’at”
Demikian kisah Habib Quraisy bin Baharun dari Cirebon. Sepenggal kisah diatas, belum termasuk serangkaian peristiwa-peristiwa serupa yang mengatasnamakan Islam dalam setiap gerakannya. Kisah tersebut sekaligus menjadi barometer, dalam berdakwah tak harus bertumpu dengan cara-cara lama. Sebab persoalan di masyarakat semakin komplek dan tuntutan yang di hadapi demikian beragam. Untuk itu diperlukan reformulasi dakwah, sebuah tahapan untuk mewujudkan poros dakwah yang senafas dengan tuntutan zaman. 

Langkah ini tentunya tetap harus berpegang pada metode dakwah klasik yang terlebih dulu memberikan hasil gemilang. Tulisan ini mencoba membaca ulang peta dakwah dari perspektif bahasa, sejarah, dan perkembangannya. Meskipun telah banyak tulisan-tulisan dengan tema serupa, paling tidak tulisan ini disajikan dari sudut pandang berbeda, yakni upaya naratif reformulasi dakwah. Sebuah usaha dalam mewujudkan prinsip dakwah yang moderat, hingga pada permasalahan paling prinsipil, berupa visi dan misi para aktifis dakwah. Hal ini hanya langkah awal, untuk selanjutnya diharapkan lahirnya gerakan-gerakan reformis dakwah. Sehingga problem apapun dan berbagai medan yang di hadapi, dapat dilalui oleh para aktifis dakwah kita.

Makna, Sejarah, dan Literasi
Secara leksikal kata ‘dakwah’ derivasi dari kata Da’a, Yad’u, Da’watan yang berarti imbauan, pemberian, atau lebih eksplisitnya, ajakan pada kebaikan. Kata da’watan yang berbentuk masdar (verbal noun) memberi arti ta’kid (sangat dianjurkan, pen). Sedangkan padanan kata dakwah adalah tabligh yang berarti menyampaikan atau seruan. Kedua kata tersebut pada dasarnya sama, menyampaikan atau ajakan pada kebaikan.

Sedangkan arti dakwah dalam Al-Qu’an sendiri, ada banyak ayat yang menjelaskan hal tersebut. Diantaranya surat an-Nahl 16:125, an-Nisa 4:65, dan an-Nur 24:51. Namun dari sekian banyak ayat yang menjelaskan prinsip-prinsip dakwah, hanya satu ayat yang dijadikan sandaran dasar atau fundamen pokok bagi metodologi dakwah. Ayat yang dimaksud adalah surat an-Nahl ayat 125. Ayat ini menjadi acuan dalam berdakwah, disamping ada beberapa fase yang mesti dilakukan. Diantaranya, seorang aktivis dakwah (da’i) dituntut menyampaikan dengan bijak (Bi al-Hikmah), menyampaikan pelajaran yang baik (mauidzoh al-hasanah), dan berdebat atau diskusi (al-Mujadalah).

Sementara itu, dalam sejarahnya salah satu keberhasilan dakwah Nabi Saw., diantaranya melalui pendekatan tradisi dan budaya, atau dapat diartikan akulturasi budaya; memasukkan ajaran-ajaran (syariat) Islam tanpa merubah pondasi awal tradisi dan budaya Arab jahiliyah. Nabi Saw. begitu menghargai tradisi dan budaya mereka, beliau tak melarangnya selagi tak bertentangan dengan syariat. Pesan Islam sebagai agama Rahmatan lil alamin tak henti-hentinya beliau wartakan kepada bangsa Arab kala itu. Sehingga mereka dapat dengan mudah menerima ajaran Islam tanpa menanggalkan tradisi lokal yang terlebih dahulu dianut. 

Syahdan, seorang sahabat, Auf bin Malik bekata, “Kami biasa meruqyah pada masa jahiliyah”. Kemudian kami mengadu pada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang itu”. Nabi segera meminta penjelasan tentang jimat (ruqyah) para sahabat. “Tak masalah selagi tak ada syirik”. Pungkas beliau kepada Auf bin Malik (Ibn Hajar al-Asqolani, 2006: X/195).

Sampai pada permasalahan yang cukup sakral, seperti ibadah Haji khususnya Sa’i, syariat yang dibawa beliau tak melakukan banyak perubahan, Nabi hanya mengajarkan bagaimana Sa’i yang sesuai dengan tuntunan syariat. Dikisahkan, semula Sa’i merupakan tradisi jahiliyah. Kala itu, di bukit Shofa dan Marwah terdapat berhala bernama Asaf dan Nai’lah, orang-orang jahiliyyah ketika Sa’i dengan menyebut kedua nama tersebut. Ketika Islam datang dan patung tersebut dihancurkan, orang Islam menolak Sa’i di tempat yang sama, mereka menilai tempat tersebut sebagai warisan Jahiliyah. Namun mereka harus menerima, sebab Allah melegalkannya (Muhammad Showi al-Masri, 2008: II/195).

Kisah serupa juga terjadi di tanah Jawa, pendekatan kultural Wali Sanga dinilai berhasil dalam menjembatani dilema ideologis kala itu. Sehingga melalui tangan dingin beliau tercipta tatanan masyarakat baru, masyarakat lokal yang tetap melakukan ajaran leluhur namun telah diakomodir oleh syara’. Oleh Wali Sanga, langkah dialogis ditempuh, beliau tak memberangus tradisi dan ritual keagamaan yang telah membumi. Namun lebih arif dalam menilai dan memutuskan. Langkah demikian tentunya dilalui dengan bertahap.

Sejalan dengan hal ini, penulis teringat catatan Izuddin bin Abd Salam dalam bukunya, Qowaid al-Ahkam Fi al-Masalih al-Anam, menurutnya, dalam menghadapi kemungkaran yang terjadi, ketika mampu dihilangkan sekaligus, maka wajib melakukannya. Jika tidak, maka harus bertahap, dari taraf mungkar terendah sampai yang terberat. Hal demikian bisa dilakukan dengan tangan (fisik) ataupun lisan.

Sebenarnya, bagi umat Islam telah diajarkan bagaimana mewujudkan dakwah yang relatif mudah, adaptif dan tentunya mudah diterima. Dalam mewujudkan hal ini, sebagaimana yang diajarkan Wali Sanga, mula-mula kita diharapkan untuk mengambil simpati publik atau objek dakwah, mengenali tradisi dan budaya mereka, baru kemudian menyisipkan materi-materi dakwah. Bahkan untuk menghadapi (baca: menilai) tradisi dan budaya masyarakat, sebuah nasihat diberikan Al-Ghozali dalam masterpiece-nya, Ihya Ulum ad-Din. Diterangkan, dalam mengikis kemungkaran yang terjadi, beliau mengibaratkan dengan sebuah analogi; membersihkan darah dengan air kencing, kemudian mensucikan air kencing dengan air. Cara ini di tempuh jika air tak mampu mensucikan darah.

Untuk itu, langkah kreatif perlu diambil untuk segera merumuskan metode dakwah yang benar-benar ‘segar’ dan tak lekang di makan waktu. Yang dimaksud adalah mencari titik temu kemerosotan nilai-nilai adiluhung, minat objek dakwah dan peran serta aktivis dakwah. Sehingga objek apapun yang dihadapi, bagi juru dakwah, akan mudah diterima.

Reformulasi Dakwah
Keberhasilan dakwah di Nusantara melalui peran Wali Sanga, tentu bukan untuk dijadikan kebanggaan ditengah kemerosotan nilai adiluhung seperti saat ini. Kebutuhan masyarakat yang beragam, tak etis ketika masih mengandalkan cara-cara lama. Karena dewasa ini, objek berdakwah bukan lagi orang-orang yang telah berusia udzur yang mendengarkan materi dakwah sembari mengantuk di sudut surau atau masjid. Namun, seluruh lapisan masyarakat membutuhkannya. Karena mereka sedang mengalami ‘kemarau’ -kalau boleh dikatakan demikain- iman ditengah hingar-bingar erotisme kehidupan.

Meski demikian, bagaimanapun metode dakwah yang digunakan harus tetap berpegang pada prinsip yang tertuang dalam Surat An-Nahl 16:125, Allah Swt. berfirman: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Ayat ini mengajarkan pokok dalam berdakwah, diantaranya:
Pertama, Mengambil kearifan (al-Hikmah), Menurut pemaknaan, hikmah ialah menyampaikan yang hak dan melakukan hal-hal yang baik. Sedangkan menurut pakar bahasa (linguis), kata hikmah diartikan keadilan (al-Adl), sabar atau murah hati (al-Halum), dan kenabian (an-Nubuwah) (Mausuah Fiqhiyyah, tt: 8/67).

Pada intinya, al-Hikmah diartikan sebagai pendekatan bijaksana, layaknya yang disampaikan aktivis dakwah (da’i) tak ada paksaan. Disamping itu, sebagai metode yang berprinsip keterbukaan, al-Hikmah dapat diartikan pula sebagai pengakuan pada hak-hak setiap individu. Hal demikian selaras dengan keberhasilan dakwah Wali Sanga, mereka begitu demokratis dan menghargai kearifan lokal.

Kedua, Menyampaikan pelajaran yang baik (mauidzoh al-hasanah), secara literal diartikan sebagai jalan kebaikan (turuq al-Hasanah), mengasihi (targhib), menakuti (tarhib) (Muhammad Showi al-Masri, 2008: II/296). Sederhananya, mauidzoh al-hasanah ialah menyampaikan pelajaran dengan tutur kata yang baik, santun, dan tak sampai menyinggung perasaan (satm atau ida’). Dan terpenting,  untuk implementasi di zaman sekarang diperlukan reformulasi dakwah, diharapkan materi yang disampaikan tak kaku, rigid dan tentunya mudah diterima.

Ketiga, berdebat atau diskusi (al-mujadalah). Debat pada dasarnya sebuah upaya mempertahankan pendapat, dalam hal ini tentu pendapat mempertahankan aqidah atau idiologi Islam ahl-sunah wa al-jama’ah. Sehingga Islam bisa diterima bukan hanya melalui al-hikmah dan mauidzoh al-hasanah, namun dapat melalui debat atau argumen ilmiah.

Dalam merumuskan ketiganya, diperlukan upaya-upaya rasional dalam kerangka reformulasi dakwah. Reformulasi bukan hanya di arahkan pada managemen dakwah semata, namun lebih eksplisit pada pembentukan visa dan misi para aktivis dakwah, serta membekali mereka dengan keilmuan yang mumpuni. Upaya ini diharapkan akan tercipta aktivis dakwah yang menguasai di segala medan, dan mampu menerjemahkan pelbagai persoalan di masyarakat dengan arif dan bijak. 

(Baca juga: Belenggu Ngunduh Mantu)

Kerangka ini, sebenarnya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. dan di tanah Jawa melalui Wali Sanga. Melalui proses yang bertahap serta dilakukan oleh para ahli, menjadi salah satu keberhasilan dakwah beliau. Kisah perempuan misionaris dan seorang lelaki di atas, kiranya cukup memberikan pelajaran. Medan dan tantangan juru dakwah sangat beragam, diantaranya, mereka tengah dihadang oleh belenggu, berupa keterbukaan dalam mempelajari kehendak disekitar mereka. Jika mereka mau keluar dari belenggu yang terjadi, bukan tak mungkin dakwah yang dilalui akan berjalan mulus tanpa hambatan.
"Reformulasi bukan hanya di arahkan pada managemen dakwah semata, namun lebih eksplisit pada pembentukan visa dan misi para aktivis dakwah, serta membekali mereka dengan keilmuan yang mumpuni"
Mewujudkan semua itu tentu tak mudah, beruntung seorang pembelajar memberikan formulasi terbaik mengenai hal ini. Beliau adalah al-Imam Abdullah bin Husain bin Tohir, sebagaimana dikutip al-Habib Zen bin Ibrahim bin Smith dalam bukunya, Manhaj as-Sawi Syarh Usul Toriqoh al-Sa’adah Ali’ Ba’alawi, Abdullah bin Husain menerangkan, dalam kerangka menegakkan kebenaran atau mencegah kemungkaran, perlu dilakukan dengan santun dan menebar kasih sayang kepada sesama mahkluk. 

Hal ini tentunya dilalui dengan bertahap. Jelasnya, lanjut Abdullah bin Husain, ketika melihat seorang yang meninggalkan kewajiban syariat, yang harus dilakukan adalah, memerintahkan kepada mereka untuk menjalankannya, secara bertahap dari yang paling mudah sampai paling sukar di lakukan (al-aham fa al-aham). Ketika mereka telah mengerjakan, sesuai instruksi kita, maka beralih pada yang lain, yakni lekas memerintahkan untuk melakukan kewajiban berbeda.

Terlepas dari semua itu, membekali para aktivis dakwah dengan keilmuan yang mumpuni menjadi sebuah keniscayaan. Karena bagaimanapun, generasi sekarang di kepung oleh budaya hedonis, individualitas, dan kapitalistik. Untuk masuk kewilayah tersebut, para aktivis dakwah harus memiliki kopetensi yang memadai (Abdul Basit, 61:2008). Sebagai bentuk spirit reformulasi dakwah, penulis mencoba untuk tetap berpegang pada diktum, “Saya optimis Islam bisa eksis bila di dakwahkan dengan santun-ramah, tak dengan marah-marah”.

Dimuat di portal Robitoh Ma'ahid Islamiyyah Jawa Tengah (RMI Jateng).