Agus Mulyadi dan Elegi Jomblo Ngenes
![]() |
Sumber gambar: agusmulyadi.web.id |
Agus Mulyadi, akrab disapa Gus Mul. Pertama kali saya mengenalnya, kalau tidak salah, di penghujung senja bulan Agustus satu tahun silam. Dalam pertemuan itu, tanpa sadar, telah membuat naluri ‘kelanangan’ saya membuncrah keluar batas nalar. Duduk penyebabnya sederhana, pada waktu itu saya berasa menemukan suplemen kebangkitan setelah sekian lama terpuruk dalam status partiarki: “Jomblo”. Tidak bermaksud mendramatisir, sejujurnya, istilah ini telah menyejarah dalam laku-kehidupan saya.
Tentu pertemuan itu terjadi dalam ruang imaji, pertemuan yang dipisahkan layar monitor, yang tersekat batas ruang dan status sosial: saya sebagai pembaca, sementara Gus Mul sebagai penulis. Berawal dari pertemuan singkat itu, saya berkesimpulan selain seorang blogger, Gus Mul juga merupakan penulis yang cukup produktif dalam merajut ‘benang-benang’ kehidupan pribadinya, menjadi tulisan ringan yang berkelas. Diantara kisah pribadinya, dengan tanpa malu, ia menguliti status ke-jombloan-nya yang telah menahun dan mengerak.Demikian sosok almukarom Gus Mul yang saya kenal, sebuah tahapan perkenalan yang begitu cepat dan dibuat sesingkat-singkatnya. Sementara itu, kali kedua mengenalnya bermula melalui nasib baik yang menghampiri saya, kala itu Gus Mul dengan legowo mengirimkan satu ekslempar karya terbarunya yang bertitel Bergumul dengan Gus Mul. Atas kebaikannya, saya kira berkewajiban membuat sedikit catatan ringkas tentang buku tersebut, setidaknya semacam resensi, begitu!
Begitu melihat buku belio, saya langsung disuguhkan pemandangan yang tak biasa: cover berwarna pink dan gaya gigi Gus Mul yang menganga. Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan Gus Mul yang tercecer di dinding maya. Sekalipun begitu, yang menarik dari buku ini adalah, seperti buku pertamanya: Jomblo tapi Hafal Pancasila, Gus Mul menampilkan catatan-catatan lepas yang yang, tanpa dinyana, telah menampilkan karakteristik tulisan Gus Mul sendiri: mengalir, ringan dan sesekali, gapleki juga.
Membaca tulisan-tulisan Gus Mul, bagi saya, seperti mendengarkan dongeng dan kita, menjadi bagian dari cerita tersebut. Bahkan—seringkali—lewat racikan kata demi kata, Gus Mul menjadikan pembaca bukan saja sebagai pemain figuran, tapi tokoh utama. Dan lagi, Gus Mul sukses menghadirkan laku-kehidupan sebagai objek karangan. Sebagai seorang blogger, hadirnya buku bertitel Bergumul dengan Gus Mul ini, telah menambatkan eksistensi Gus Mul sebagai blogger sekaligus penulis. Buku tersebut lahir dari kreatifitas: berawal dari blogging, menulis, dan ketelatenan. Dan saya kira, tidak semua blogger dapat melakukan hal demikian, perlu keuletan dan atau, sejauh pengamatan saya, respon ‘trengginas’ dalam membaca setiap kesempatan.
Secara umum, buku kedua Gus Mul ini mengambil landscape pergumulan di sekitarnya: keluarga, teman, dan pastinya, pasangan hidup. Sekalipun yang disebut terakhir terlalu canggung dan tak jarang, membuat Gus Mul mati gaya.
Di bagian awal, Gus Mul langsung mendramatisir perjalanan karirnya, dari satu kota ke kota lain. Bisa jadi perjalanan tersebut membuatnya bermetamorfosa menjadi Gus Mul dalam ‘wujudnya’ yang lebih kekinian, yakni Gus Mul yang begitu dikenal karena kreatifitas dan tentunya, trengginas. Dibagian lain, Gus Mul langsung menukik tajam soal perjalanan asmara. Awalnya ia menceritakan kota kelahirannya, Magelang dan tak dinyana, diakhir tulisan, sebuah penyesalan klise meluncur begitu saja, "Ayolah, Magelang memang kota sejuta bunga, tapi perlu sampean tahu, kumbangnya ada dua juta" (hal. 11).
"Bahkan, penolakan kadang menjadi titik balik untuk mencapai kabahagiaan yang lebih tinggi"
Dari sekian topik tulisan, terdapat pokok permasalah yang, oleh Gus Mul, nampak menunjukkan kepakarannya, yakni dalam mengurai keruwetan asmara. Bahkan sangat pantas jika, berkat kepeduliannya pada nasib Jomblo, Gus Mul ditambatkan sebagai seorang praktisi, pemerhati dan penggiat per-jomblo-an. Dan bukan tidak mungkin dikemudian hari, Gus Mul bakal menjadi Mario Teguh-nya para jomblo.
“Jika Tuhan menciptakan bumi Pasundan ketika tengah tersenyum, maka Gus Mul diciptakan ketika Tuhan tengah murung”
Akhirnya, bagi saya, pembacaan atas tulisan-tulisan Gus Mul terdapat persoalan lain yang cukup asasi! Aktifitas ngeblog yang biasanya berkutat seputar teknik seo, perang keyword dan segenap ‘keruwetan’ adsense yang prosedural. Oleh Gus Mul diramu dengan cara berbeda, yakni dengan menghadirkan olah kreatifitas berupa tulisan-tulisan ringan, menghibur dan tentunya, tetap berada di rel ‘pertarungan’ visitor blog pribadinya. Dan lebih lagi, jika kemudian tulisan-tulisannya itu dapat di bukukan dan di nikmati oleh khalayak luas.
Identitas buku:
Judul : Bergumul dengan Gus Mul
Penulis : Agus Mulyadi
Penerbit : Mediakita
Tebal : 208 halaman
Tahun terbit : 2015
Penulis : Agus Mulyadi
Penerbit : Mediakita
Tebal : 208 halaman
Tahun terbit : 2015
Catatan:
- Resensi ini dibuat berawal dari terpilihnya blog saya (www.achfasafandi.web.id) menjadi satu dari lima blog yang mendapatkan buku gratis dari Agus Mulyadi dengan mahar, saya harus membuat resensi tentang buku tersebut. Karena blog yang lama (www.achfasafandi.web.id) telah disuspend, maka untuk resensi saya publish di blog yang baru (www.ikumaujud.web.id).
- Tulisan ini sengaja dibuat cukup panjang, hingga tidak layak disebut resensi. Untuk menggarapnya, kira-kira saya memerlukan waktu 1,5 tahun sejak pertama kali buku tersebut terbit. Demikian, salam jabat-erat!