Kamis, 11 Juli 2019

Islam Indonesia: Inspirasi Bagi Perdamaian Dunia

Islam Indonesia: Inspirasi Bagi Perdamaian Dunia


“Kita perlu memperkenalkan ke publik Jerman, corak dan warna Islam yang lain. Islam tidak identik dengan etnis tertentu. Islam yang dipraktikkan masyarakat Indonesia adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu menjadi pelopor toleransi di tengah ratusan kelompok etnis atas suku bangsa yang sangat beragam”.

Selasa, 25 Juni 2019

Islam dan Revisitasi Makna Persatuan

Islam dan Revisitasi Makna Persatuan

Isu tentang persatuan dan kesatuan, belakangan menjadi salah satu topik yang cukup populer, setidaknya dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir. Fenomena ini—disadari atau tidak—buntut dari ketegangan-ketegangan (tensions) yang terus mengemuka, lebih lagi ketika bersinggungan dengan paham keagamaan dan representasi politik. Bisa dipastikan, persoalan yang sepele sekalipun bakal berbuntut panjang.

Kecenderungan tersebut kian nyata manakala masyarakat mudah tersulut isu-isu murahan, yang—sampai sejauh ini—kerap kali tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Beruntung, sejatinya kita punya pengalaman mengatasi persoalan ini, yakni dengan merawat nilai-nilai persatuan dan persaudaraan antar sesama. Dalam Islam sendiri, keduanya di yakini menjadi salah satu instrument penting dalam menampilkan wajah Islam yang sebenarnya: santun, ramah, dan tidak marah-marah.

Oleh karena itu, sebagai agama rahmat bagi semesta, Islam telah merumuskan bagaimana merawat simpul-simpul kebinekaan ini agar lebih mudah dipahami. Tujuannya tak lain, dapat mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dari dan untuk semua elemen masyarakat.

Persatuan dalam Islam
Menelusuri entitas persatuan dalam Islam, kita dapat menemukannya dalam beberapa sumber sekaligus, yang satu sama lain tentunya saling berkelindan. Dalam al-Qur’an, pesan ini tersirat dalam QS. Ali Imran [03]: 103 yang menegaskan, bahwa bagi segenap orang yang beriman di haruskan untuk berpegang pada tali Allah swt. dan untuk tidak tercerai-berai dalam persaudaraan. Dikalangan ulama (mufassir), ayat ini dipahami dengan beragam pengertian, sekaligus menyimpan makna yang berbeda (multitafsir).

Dalam Tafsir Al-Maturidi misalnya, sahabat Abd’ Allah Ibn Masud menafsiri kata “Hablu Allah” (tali Allah swt.) dengan makna persatuan (Al-Jama’ah), yang artinya berupa perintah untuk meneguhkan persatuan dan menjauhi perpecahan. Pendapat tersebut di kutip oleh beberapa ulama, misalnya, Abu Ja’far Al-Thabari (w. 310), Abu Hayyan Al-Andalusi (w. 745), dan Abu Hasan ibn Muhammad Al-Mawardi (w. 450).

Dalam komentarnya, Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333) menegaskan, keharusan menjaga persatuan karena tipikal seorang muslim (ahl al-Islam) tak lain dengan menjaga persatuan (al-Jama’ah), dan mencegah perpecahan. Hal ini selaras dengan pesan dalam QS. Al-An’am [06]: ayat 153, bahwa kita diharuskan mengikuti jalan yang lurus dan tidak sebaliknya, jalan yang dapat mencederai persatuan. Demikian ini perintah Allah swt. agar menjadi manusia yang bertakwa.

Komentar (syarh) yang lebih dialogis dapat ditemukan dalam—diantaranya—kitab Tafsir Al-Mawardi, bahwa larangan tercerai-berai antar sesama tidak lepas dari dua penafsiran: pertama, keharusan menjaga persatuan dalam meneguhkan (ajaran-ajaran) agama. Dan kedua, bersatu dalam meneladani pesan-pesan kenabian Muhammad saw. Penafsiran ini, berdasarkan artikulasi persatuan dalam konteks keberagamaan. Sementara dalam bingkai keindonesiaan lain lagi, yakni upaya merajut tenun kebangsaan dan merawat elan-elan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perbedaan penafsiran ini, tak lain lahir dari ekspresi pemikiran para ulama yang mendasarkan pada analisa dan kerangka berfikir yang berbeda, sehingga menghasilkan rumusan yang berbeda pula. Namun setidaknya mereka sepakat akan satu hal, bahwa perbedaan adalah benalu dalam mewujudkan persatuan dan persaudaraan. Menurut Syamsuddin Al-Qurtubi (w. 671), perbedaan yang tak di benarkan ialah yang berpotensi pada perpecahan dan kehancuran.

Komentar serupa di kemukakan oleh KH. Hasyim Asyari (w. 1366) dalam bukunya Al-Tibyan fi Al-Nahyi an Muqatha’ati Al-Arham wa Al-Aqarib wa Al-Ikhwan, bahwa perpecahan adalah faktor utama dari kelemahan, kekalahan dan kegagalan sepanjang zaman. Bahkan tidak hanya itu, potensi lain dari perpecahan ialah terjadinya chaos, yang merusak tatanan kehidupan berbangsa dan timbulannya kehancuran yang tak bisa di hindari.

Oleh karenanya, lanjut kiai Hasyim dalam Muqaddimah Qanun Al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, berapa banyak bangsa-bangsa besar yang hidup makmur, pembangunan merata, kemajuan terasa hingga pelosok negeri, dan pemerintahan berjalan dengan baik, tidak lain berkat terjalinnya persatuan dan kesatuan antar semua element masyarakat. Karenanya, sebagai bagian sunnatullah, manusia selalu hidup berdampingan dan berinteraksi dengan yang lainnya. Sehingga persatuan adalah sebuah keniscayaan!

Pada akhirnya, perbedaan agama, ras, bahasa, atau bahkan afiliasi (pilihan) politik, bukan lagi menjadi legitimasi untuk mengabaikan persatuan. Dan karenanya, Islam mewanti-wanti pentingnya menghargai perbedaan dan merawat persaudaraan. Dalam sepenggal hadis dlaif riwayat Al-Qadha’i ditegaskan, “Persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab”. Wallahu a’lam.

Artikel ini pertama kali dimuat di jalandamai(dot)org

Selasa, 26 September 2017

Berhijrah Sebelum Terlambat

Berhijrah Sebelum Terlambat




Bagi umat Islam, bulan Muharram telah menyisahkan banyak memoar dalam ingatan. Berbagai peristiwa penting terjadi di bulan ini, peristiwa-peristiwa itu tak hanya menyisahkan kesan mendalam. Lebih dari itu, Rasulullah Saw. mewanti-wanti akan keutamaan bulan satu ini lewat pesan-pesan profetik beliau.

Selasa, 03 Mei 2016

Tafsir Ambisi

Tafsir Ambisi

Membicarakan ambisi, ingatan saya mendadak terpelanting tujuh tahun silam, tepatnya di penghujung Februari 2010. Hari penuh berkah, saat itu—untuk pertama kalinya—saya di pertemukan landscape kehidupan yang benar-benar berbeda. Hidup di tengah, kalau boleh saya simpulkan, keterasingan! Namun begitu di tempat yang tengah saya bicarakan ini, saya di pertemukan dengan pergumulan penuh kedisiplinan, semangat, ketekunan dan yang pasti, ambisi. Untuk yang disebutkan terakhir, saya bisa memastikan, segenap nisan dalam pandangan saya waktu itu, sepakat jika ‘ambisi’ telah menjadi, semacam, aouto sugesti  bagi keberhasilan mereka. Pengalaman ini saya temukan sewaktu memasuki sekat kehidupan terluar: pondok pesantren. 
Pada intinya mereka, insan (baca: santri) pesantren, mempunyai pranata tersendiri dalam mewujudkan kehendak, tujuan atau dalam bahasa mereka, hajat. Pranata yang mereka gunakan tidak lain semacam diktum dan atau doktrin yang disampaikan senior-senior mereka, yang dalam hal ini berarti ustadz atau bahkan kiai. Namun begitu, gejolak ambisi yang mereka tanam tidak lepas tanpa kontrol. Terdapat beberapa tahapan sebelum benar-benar melakoni narasi perjuangan, dalam konteks mereka berarti proses belajar (tolab al-ilmi, Arb.; menuntut ilmu, Ind.). Tahapan ini berupa niat yang benar, ikhtiar dan baru kemudian, menanamkan ambisi. 
Diawali dengan ‘niat’, telah mafhum tahapan ini merupakan pondasi paling mendasar dalam melakoni pelbagai kebaikan. Sederhananya, niat semacam conter dalam mengarungi proses perjuangan, agar tak terpeleset atau bahkan salah arah. Disini, saya tidak akan berkutat dengan dalil-dalil dogmatis dalam menguraikan esensi niat.  Namun yang lebih prinsipil, bagaimana mejalani ‘kehendak’ sesuai niat yang benar.

(Baca juga: Belenggu Ngunduh Mantu)
 
Jika niat adalah pondasi awal, maka ikhtiar adalah proses melanjutkan kerangka dari pondasi menjadi sebuah bangunan. Kerangka ini, dalam takaran insan pesantren, berupa keberhasilan dalam menuntut ilmu. Sementara ‘ambisi’ sebagai pemompa dalam mewujudkan niat, yang ketiganya saling bertautan satu sama lain.  
***
Rentetan alur (prinsip) serupa, mendadak kembali hadir namun dengan narasi berbeda. Jika tujuh tahun silam saya menyaksikan prinsip hidup yang pasti: dari niat, ikhtiar (usaha), hingga memendam ambisi. Namun kini, sebuah proses menjadi silang-sengkarut, betapa kerancuan antara niat, usaha (ikhtiar) dan ambisi, tak berjalan sebagaimana mestinya. Terkadang mempunyai niat baik, tapi tanpa ada usaha, jadi percuma. Dan bahkan sebaliknya, terus berusaha tapi tanpa ada niat tulus, jadi sia-sia. Yang lebih membingungkan, sebagaimana yang pernah saya alami, memendam ambisi berlebih namun tanpa niat dan usaha. 
Dalam takaran ini, kita dapat menyaksikan tindak-tanduk sang empunya kebijakan. Banyak di antara mereka—dalam kesimpulan sederhana—rela merogoh kocek dalam-dalam, lobi sana-sini, dengan satu tujuan: “jabatan tertentu”. Namun malangnya, menjelang masa purna tugas, bukannya menyuguhkan prestasi atau capaian terbaik, tapi malah terbelenggu istilah sentimental, misalnya ‘papa minta saham’ atau ‘jatah semangka separoh’. Bagi saya, tontonan ini semaca timbal-balik antara ambisi berlebih dan niat tak tulus. Yang pada intinya, berniat mewujudkan ambisi pribadi dan disaat yang sama, mengorbankan nasib rakyat kebanyakan.
Dalam pada itu, mengekang ambisi terkadang malah menjadi benalu. Yang pada akhirnya, melahirkan momentum penuh ambisius: “persetubuhan nafsu”. Oleh karenanya, seorang bijak-bestari telah memberikan nasihat, upaya mewujudkan (hasil) paripurna tidak hanya di tentukan oleh seperangkat aturan, misalnya niat dengan do’a, usaha dan boleh juga, ber(ambisi). Nasihat ini, agaknya berusaha mengconter prilaku penuh ambisius, namun di saat yang sama tidak di sertai kemampuan yang mumpuni. Hal ini hanya sebatas penafsiran, bisa jadi realita terjadi sebaliknya, punya kemampuan namun tidak berhasrat menggapai hasil paripurna.  
"upaya mewujudkan (hasil) paripurna tidak hanya di tentukan oleh seperangkat aturan, misalnya niat dengan do’a, usaha dan boleh juga, ber(ambisi)". nasihat bijak-bestari

Jalâl ad-DÄ«n 'Abd ar-Rahman as-Suyuti, seorang pakar semantik Arab dalam kajiannya yang begitu eksak: ilm al-badi’ (rhetoric), jauh-jauh hari telah mengingatkan mengenai gejalan ini. Dengan luwes dan gamblang, beliau menafsiri pelbagai persoalan diantaranya, tentang badi irshod. As-Suyuti mengutip sepenggal syair, dari ontologi ‘Amr bin Makdikariba, demikian: 
“Ketika engkau tak mampu melakukan sesuatu (pekerjaan), tinggalkanlah #
beralilah pada pekerjaan yang dapat engkau lakukan”.
Dalam menghadirkan contoh atau narasi, as-Suyuti dan juga penulis buku-buku dengan tema serupa, telah menempati—dalam tafsiran saya—dua posisi berbeda. Pertama, sudah tentu sebagai contoh ideal dari term itu sendiri dan kedua, menyimpan pesan tersirat; berupa kritik, motivasi dan bahkan, nasihat. Terlepas dari semua itu, sepenggal syair di atas—disadari atau tidak—sebenarnya telah mengingatkan para pembacanya, adakalanya ‘ambisi’ harus di kekang, berdasarkan pijakan, jika tidak mampu menjalaninya.
Pertama, sudah tentu sebagai contoh ideal dari term itu sendiri dan kedua, menyimpan pesan tersirat; berupa kritik, motivasi dan bahkan, nasihat.

Pada akhirnya, kata ‘ambisi’ tidak lebih berupa polisemi. Pertama, ia dapat menyulut keberhasilan dan kedua, siap menelikung ke(berhasil)an siapapun. Dan untuk kali ini, benar juga ketika seorang kawan berkelekar, “Le, ambisi saja tidak cukup!”.

Rabu, 16 Maret 2016

Amanah dan Sepenggal Hikayat

Amanah dan Sepenggal Hikayat



~Man la Wafa’a fihi, la Dina lahu. Seorang tak menepati janjinya, berarti tak beragama.

Menara bel Gereja San Fernando nampak begitu jangkung, membelah langit kota San Antonio. Di ujung menara, pada 23 Februari 1836, seorang pria tegap berdiri mematung, hampir tiga jam lamanya. Tepat di depannya, hamparan panjang horizon barat, terus ia amati. Sosok gempal itu, melakoni tugas saban hari tanpa pamrih: penuh kepatuhan. Ia adalah Daniel William Cloud, atas titah James Bowie dan William Barret Travis. Kepatuhan Cloud atas dasar sederhana; Amanah.

Kisah serupa terjadi ratusan tahun silam, sebelum Daniel Cloud mengawali—perjalanan—sejarah heroik pertempuran benteng Alamo. Dan tak kalah pilu saat Travis mulai mencium bau mesiu yang bercampur darah. Kisah ini, dalam catatan kemudian, di kenal sebagai epik sejarah Arab badui. Sejarah tentang bangsa-bangsa, yang dalam banyak redaksi, di nilai tenggelam dalam peradaban luhur. Sebagai bangsa yang terus di kerdilkan, klan (Arab) Badui, tak jarang, telah menampilkan epik kehidupan yang lebih luhur, melewati fase kehidupan moderen. Satu keputusan yang di tempuh, dalam auto-kritiknya, bahwa ia telah membuktikan janjinya; Amanah.

Seorang pembelajar –dalam buku yang tak begitu dikenal, Irsyad al-Mu’minin ila Sirati Sayyid al-Mursalin, merangkai kisah Arab badui ini dengan demikian apik. Bahkan, dengan sendirinya, penulis buku ini berhasil meyakinkan khalayak ramai, jika potongan-potongan sejarah Arab badui tak selamanya lekat dengan kegelapan, kejumudan dan bahkan, tak berperadaban. 

(Baca juga: Berhijrah Sebelum Terlambat

Dalam buku tersebut, kisah ini bermula tatkala lawatan Arab badui ke suatu negeri. Kebetulan penguasa setempat tengah memberlakukan aturan tak lazim. “Siapapun yang bertandang ke negeri ini, di saat tertentu, dia akan dibunuh”, demikian kira-kira aturan di negeri tersebut. Dan tak di nyana, Arab badui datang di saat aturan tengah berlaku. Ia tak bisa mengelak, begitu memasuki tapal batas, sekawanan penjaga menjadikannya sebagai tawanan. Selang beberapa waktu, ia di hadapkan kepada paduka raja.  

Nu’man ibn Mundzir, seorang petinggi kerajaan, kembali menegaskan jika di negerinya tengah berlaku aturan turun-temurun. Siapapun yang datang di waktu tersebut, satu pilihan untuknya: hukuman mati. Raja mengamini perkataan Mundzir, di hadapan Arab badui,  lekas ia tandaskan hal ini. “Engkau datang di saat aturan berlaku selama puluhan tahun, engkau akan di hukum pancung dan tidak ada cela untuk melarikan  diri”, tandas baginda pada tamunya.

Si badui tak bergeming, sejenak kemudian ia mulai bangkit; memikirkan sesuatu. Dan tak lama setelah itu, ia mulai berdiplomasi.

“Jika itu yang baginda inginkan, baiklah! Tapi perkenankan hamba menemui sanak keluarga, menyampaikan salam perpisahan. Aku berjanji setelah ini akan kembali”, pinta Badui.

Semula baginda tak begitu saja percaya. Ia was-was si Badui bakal tak kembali. Beruntung beberapa kolega baginda mengenal baik si Badui, diantaranya Syarik ibn Ady, pejabat sekaligus orang kepercayaan baginda. Dalam pertemuan itu, Syarik mencoba berunding dengan baginda. “Para menteri mengenal baik kepribadian si Badui, ia di kenal kejujurannya dan selalu menepati janji. Percayalah pada omongannya, ia bakal kembali, menanggung resiko yang telah di perbuat”, tandas syarik.

Syarik memang pandai berdiplomasi. Sikap baginda yang semula kukuh, kini mulai melunak; baginda merestui si Badui menemui sanak keluarga, menyampaikan salam perpisahan.

“Baiklah aku persilahkan kau menemui keluargamu’, tegas baginda.

“Dan kamu ‘amir (menteri), perlu kalian ingat! Andai si Badui tidak menepati janjinya, maka kalian yang menjadi penggantinya. Aturan harus tetap di tunaikan”, gertak baginda di hadapan para menteri. Mendadak wajah para menteri pucat-suram, terasa getir dan nampak gamang. Tapi mereka tak bisa mengelak, bagaimanapun keputusan ini harus di terima.

Pertemuan yang lebih dramatis terjadi antara si Badui dan sanak-keluarga. Lekas ia ceritakan peristiwa yang tengah menimpanya, hingga pada satu kesimpulan, umurnya tinggal menghitung waktu. Dalam pertemuan yang cukup singkat, si Badui berkisah, “Aku telah kembali, tapi dalam waktu dekat aku bakal menerima hukuman; pancung. Dan aku harus menerima, sebagai bentuk kepatuhan dan menunaikan janji yang telah terucap”, tutur si Badui. Sanak keluarga tak dapat berbuat banyak, hanya bisa pasrah dan melepas kepergian si Badui dengan penuh kesedihan.
Dalam keputusannya, si Badui menyadari, ia hanya rakyat kebanyakan, sementara sang pemangku kebijakan telah menetapkan keputusan. Tak bisa di tawar.
Hamparan padang pasir mengantarkan kepergian Arab badui. Dalam keputusannya, si Badui menyadari, ia hanya rakyat kebanyakan, sementara sang pemangku kebijakan telah menetapkan keputusan. Tak bisa di tawar. Tapal batas kerajaan lamat-lamat mulai terlihat, segera begitu memasuki batas wilayah ia di sambut beberapa juru hukum, perutusan menteri kerajaan. Tanpa membuang waktu, lekas di hadapkan kepada baginda.

“Engkau sungguh bernyali”, hibur baginda.

“Dasar apa  hingga engkau benar-benar memenuhi janjimu, sekalipun janji yang bakal membuatmu celaka”. Baginda nampaknya masih belum percaya, baru kali ini terdakwa di kursi pesakitan terlihat begitu tegar, tak sedikit pun nampak kehawatiran.

(Baca juga: Belenggu Ngunduh Mantu)

“Agamaku”, jawab Badui singkat.

Mendadak suasana hening. Para menteri, cerdik-cendikia dan pembesar kerajaan begitu tertegun dan sesekali, saling tukar pandangan satu sama lain. Suasana cukup tenang, hingga si Badui kembali melanjutkan omongannya. “Seorang tak menepaati janjinya, berarti tak beragama”, terang Arab badui memastikan alasan kedatangannya.
“Seorang tak menepaati janjinya, berarti tak beragama”
Jawaban si Badui seperti cambuk yang menelusup hingga sanubari, baginda nampak begitu tertegun, penuh penyesalan; insaf. Ia menyadari kebijakannya selama puluhan tahun tidaklah benar.  Berawal dari pertemuan itu, baginda menghapus semua kebijakan dan peraturan tak lazim dari negerinya. Dan Arab badui, ia di bebaskan tanpa syarat.

Arab badui telah membuktikan janjinya. Ia telah menanggalkan segenap kepalsuan dan memastikan akan satu hal; Amanah.

16 Maret 2016