Jumat, 19 April 2019

Cara Pintar Berbagi di Era Digital

Cara Pintar Berbagi di Era Digital


Pada hakikatnya berbagi bisa kapan dan di mana saja, apalagi sekarang hidup di era digital, pastinya untuk urusan satu ini semakin di mudahkan, dari dan untuk siapapun. Semangat untuk berbagi ini, tidak lain luapan—meminjam ungkapan Ali Ahmad Al-Jurjani dalam kitab Tarikh al-Tasyri’ wa Falsafatuhu­—dari upaya menjauhi tindakan terlampau hemat (kikir/lokek) dan mewujudkan kesejahteraan umat (Al-Bu’du an al-Bukhl wa Iradah Islah al-Ummah).   

Kamis, 06 Desember 2018

Imam Syafi'i dan Syair Penggugah Jiwa

Imam Syafi'i dan Syair Penggugah Jiwa

 
Untaian bait-bait syair berikut ini, kalau tidak salah, gubahan Imam Syafi’I ra., yang begitu menggugah jiwa dan memotivasi siapapun yang tengah di rundung pilu dan terkungkung dalam kegalauan hidup. Oleh karena itu, saya sengaja menuliskan syair-syair ini, barangkali suatu saat perlu mengingatnya kembali.

بقدر الكـد تكتسب المعالى # فمن طلب العلى سهر الّيالى
Derajat mulia diukur berdasarkan usahanya # Siapapun yang hendak menggapainya, maka bersiaplah (di malam hari) untuk selalu terjaga

ترُومُ العِــزّ ثم تَنامُ لَيـلا # يغوصُ البحْر من طَلَب اللآلي
Engkau mengharapkan kemuliaan, sementara di malam hari (hanya)
dihabiskan untuk tidur! # Ingatlah (anak muda), untuk mendapatkan mutiara
harus menyelam hingga dasar lautan

علو الكعب بالهمم العوالي #  وعز المرء في سهر الليالي
Luhurnya derajat/kedudukan, karena tujuan yang mulia # Dan kemuliaan (derajat) seseorang, karena ia terjaga (untuk beribdah dan belajar) di waktu malam

فلا تفرغ من الاهوال يوما # اذا كنت في طلب المعالى
Jangan membuat harimu dengan kehawatiran/ketakutan #
Jika engkau hendak meraih derajat mulia/terhormat

ومَنْ رامَ العُلى مِن غَيرِكَـدٍّ  # أضَاعَ العُمرَ في طَـلَبِ المُحَالِ
Seorang yang mengharapkan derajat mulia, sementara ia tidak (mau) berusaha #
Celakalah! Sesungguhnya usianya telah terbuang sia-sia, untuk meraih sesuatu yang mustahil.

Catatan:
Dikutip dari kitab Ahla Al-Musamirah fi Hikayat Al-Aulia Al-Ashrah  Karya Al-Syaikh Al-Alim Al-Fadhil Abi Fadhal Al-Senari (Tuban, Jawa Timur)



Selasa, 26 September 2017

Berhijrah Sebelum Terlambat

Berhijrah Sebelum Terlambat




Bagi umat Islam, bulan Muharram telah menyisahkan banyak memoar dalam ingatan. Berbagai peristiwa penting terjadi di bulan ini, peristiwa-peristiwa itu tak hanya menyisahkan kesan mendalam. Lebih dari itu, Rasulullah Saw. mewanti-wanti akan keutamaan bulan satu ini lewat pesan-pesan profetik beliau.

Selasa, 03 Mei 2016

Tafsir Ambisi

Tafsir Ambisi

Membicarakan ambisi, ingatan saya mendadak terpelanting tujuh tahun silam, tepatnya di penghujung Februari 2010. Hari penuh berkah, saat itu—untuk pertama kalinya—saya di pertemukan landscape kehidupan yang benar-benar berbeda. Hidup di tengah, kalau boleh saya simpulkan, keterasingan! Namun begitu di tempat yang tengah saya bicarakan ini, saya di pertemukan dengan pergumulan penuh kedisiplinan, semangat, ketekunan dan yang pasti, ambisi. Untuk yang disebutkan terakhir, saya bisa memastikan, segenap nisan dalam pandangan saya waktu itu, sepakat jika ‘ambisi’ telah menjadi, semacam, aouto sugesti  bagi keberhasilan mereka. Pengalaman ini saya temukan sewaktu memasuki sekat kehidupan terluar: pondok pesantren. 
Pada intinya mereka, insan (baca: santri) pesantren, mempunyai pranata tersendiri dalam mewujudkan kehendak, tujuan atau dalam bahasa mereka, hajat. Pranata yang mereka gunakan tidak lain semacam diktum dan atau doktrin yang disampaikan senior-senior mereka, yang dalam hal ini berarti ustadz atau bahkan kiai. Namun begitu, gejolak ambisi yang mereka tanam tidak lepas tanpa kontrol. Terdapat beberapa tahapan sebelum benar-benar melakoni narasi perjuangan, dalam konteks mereka berarti proses belajar (tolab al-ilmi, Arb.; menuntut ilmu, Ind.). Tahapan ini berupa niat yang benar, ikhtiar dan baru kemudian, menanamkan ambisi. 
Diawali dengan ‘niat’, telah mafhum tahapan ini merupakan pondasi paling mendasar dalam melakoni pelbagai kebaikan. Sederhananya, niat semacam conter dalam mengarungi proses perjuangan, agar tak terpeleset atau bahkan salah arah. Disini, saya tidak akan berkutat dengan dalil-dalil dogmatis dalam menguraikan esensi niat.  Namun yang lebih prinsipil, bagaimana mejalani ‘kehendak’ sesuai niat yang benar.

(Baca juga: Belenggu Ngunduh Mantu)
 
Jika niat adalah pondasi awal, maka ikhtiar adalah proses melanjutkan kerangka dari pondasi menjadi sebuah bangunan. Kerangka ini, dalam takaran insan pesantren, berupa keberhasilan dalam menuntut ilmu. Sementara ‘ambisi’ sebagai pemompa dalam mewujudkan niat, yang ketiganya saling bertautan satu sama lain.  
***
Rentetan alur (prinsip) serupa, mendadak kembali hadir namun dengan narasi berbeda. Jika tujuh tahun silam saya menyaksikan prinsip hidup yang pasti: dari niat, ikhtiar (usaha), hingga memendam ambisi. Namun kini, sebuah proses menjadi silang-sengkarut, betapa kerancuan antara niat, usaha (ikhtiar) dan ambisi, tak berjalan sebagaimana mestinya. Terkadang mempunyai niat baik, tapi tanpa ada usaha, jadi percuma. Dan bahkan sebaliknya, terus berusaha tapi tanpa ada niat tulus, jadi sia-sia. Yang lebih membingungkan, sebagaimana yang pernah saya alami, memendam ambisi berlebih namun tanpa niat dan usaha. 
Dalam takaran ini, kita dapat menyaksikan tindak-tanduk sang empunya kebijakan. Banyak di antara mereka—dalam kesimpulan sederhana—rela merogoh kocek dalam-dalam, lobi sana-sini, dengan satu tujuan: “jabatan tertentu”. Namun malangnya, menjelang masa purna tugas, bukannya menyuguhkan prestasi atau capaian terbaik, tapi malah terbelenggu istilah sentimental, misalnya ‘papa minta saham’ atau ‘jatah semangka separoh’. Bagi saya, tontonan ini semaca timbal-balik antara ambisi berlebih dan niat tak tulus. Yang pada intinya, berniat mewujudkan ambisi pribadi dan disaat yang sama, mengorbankan nasib rakyat kebanyakan.
Dalam pada itu, mengekang ambisi terkadang malah menjadi benalu. Yang pada akhirnya, melahirkan momentum penuh ambisius: “persetubuhan nafsu”. Oleh karenanya, seorang bijak-bestari telah memberikan nasihat, upaya mewujudkan (hasil) paripurna tidak hanya di tentukan oleh seperangkat aturan, misalnya niat dengan do’a, usaha dan boleh juga, ber(ambisi). Nasihat ini, agaknya berusaha mengconter prilaku penuh ambisius, namun di saat yang sama tidak di sertai kemampuan yang mumpuni. Hal ini hanya sebatas penafsiran, bisa jadi realita terjadi sebaliknya, punya kemampuan namun tidak berhasrat menggapai hasil paripurna.  
"upaya mewujudkan (hasil) paripurna tidak hanya di tentukan oleh seperangkat aturan, misalnya niat dengan do’a, usaha dan boleh juga, ber(ambisi)". nasihat bijak-bestari

Jalâl ad-Dīn 'Abd ar-Rahman as-Suyuti, seorang pakar semantik Arab dalam kajiannya yang begitu eksak: ilm al-badi’ (rhetoric), jauh-jauh hari telah mengingatkan mengenai gejalan ini. Dengan luwes dan gamblang, beliau menafsiri pelbagai persoalan diantaranya, tentang badi irshod. As-Suyuti mengutip sepenggal syair, dari ontologi ‘Amr bin Makdikariba, demikian: 
“Ketika engkau tak mampu melakukan sesuatu (pekerjaan), tinggalkanlah #
beralilah pada pekerjaan yang dapat engkau lakukan”.
Dalam menghadirkan contoh atau narasi, as-Suyuti dan juga penulis buku-buku dengan tema serupa, telah menempati—dalam tafsiran saya—dua posisi berbeda. Pertama, sudah tentu sebagai contoh ideal dari term itu sendiri dan kedua, menyimpan pesan tersirat; berupa kritik, motivasi dan bahkan, nasihat. Terlepas dari semua itu, sepenggal syair di atas—disadari atau tidak—sebenarnya telah mengingatkan para pembacanya, adakalanya ‘ambisi’ harus di kekang, berdasarkan pijakan, jika tidak mampu menjalaninya.
Pertama, sudah tentu sebagai contoh ideal dari term itu sendiri dan kedua, menyimpan pesan tersirat; berupa kritik, motivasi dan bahkan, nasihat.

Pada akhirnya, kata ‘ambisi’ tidak lebih berupa polisemi. Pertama, ia dapat menyulut keberhasilan dan kedua, siap menelikung ke(berhasil)an siapapun. Dan untuk kali ini, benar juga ketika seorang kawan berkelekar, “Le, ambisi saja tidak cukup!”.

Jumat, 29 April 2016

Belenggu Ngunduh Mantu

Belenggu Ngunduh Mantu

Malam di penghujung bulan Januari turun begitu cepat. Sang rembulan masih tetap terpaku, bahkan ketika angin mulai bertiup kencang, malam yang kian larut, ia tetap tak bergeming. Demikianlah, malam yang –sepertinya—murung tapi tak menyurutkan niatan tiga sekawan; Warjo, mbah Giman dan Ahmad, untuk sekedar berkumpul singkat. Bahkan satu perhitungan telah di sepakati, pertemuan mereka di anggap usai jika telah mengahabiskan segelas kopi. Dan malam itu, obrolan renyah tengah berlangsung di kedai mang Dikun.
 
***  
Kedai Mang Dikun, 20:30.
Lokasinya mudah di  temukan, dekat pertigaan desa, tak jauh dari sungai yang membelah ruas kampung. Oleh penduduk sekitar, tempat ini di kenal—bahkan cukup kesohor—dengan nama ‘kedai mang Dikun’. Ketenaran kedai satu ini sebab dua hal: pertama, keunikan racikan kopi yang di sajikan. Kedua; keramahan sang empunya. Keunikan, atau lebih tepatnya racikan, kedai satu ini terletak pada sentuhan dan rasa yang di tawarkan. Citarasa kopi tumbukan dengan campuran rempah-rempah, sehingga aroma yang menyembul begitu kuat dan, khas tentunya. Sementara yang kedua, tak perlu di tafsiri lebih jauh.

Pembawaan yang humoris dan tak jarang, mengeluarkan joke-joke segar, cukup menarik hati pelanggan, termasuk diantaranya tiga sekawan; Warjo, Ahmad dan Giman. Selama sepekan, di pastikan ketignya tidak ernah absen, barang satu hari. Dan malam itu, ketiganya tengah terlibat perbincangan ringan.

“Mad, sampean sudah ngomong sama pak Ustadz tentang masalah saya”, tanya Giman pada Ahmad mengawali pembicaraan.

”Belum”.
  
(Baca juga: Menggagas Refolmulasi Dakwah)

“Mau matur gimana, lah wong saya saja repot ngeramut sawah. Belum lagi saya endak enak setiap kali ketemu pak Ustadz”, jawab Ahmad.
   
Sebelumnya, tiga hari yang lalu, Giman meminta pada Ahmad agar mencarikan solusi perihal masalah yang tengah di hadapinya. Masalah ini menyangkut kegalauan Giman tentang rencana pernikahan andiknya, galau bukan karena ia bakal di ‘salip’ oleh adiknya, tapi ini menyangkut tinjauan hukum perihal masalahnya tersebut. Duduk masalahnya bermula tatkala kelaurga Giman berencana menutup akses jalan raya, sebagai lokasi hajatan; ngunduh mantu. Mengingat lokasi gedung serba guna, sebagai alternatif, terletak cukup jauh dari rumahnya.

“Sudah Man begini saja”, serga Warjo sembari sesekali menikmati seduhan kopi rempah-rempah. Jari telunjuknya terus bergerak, melepaskan sisa-sisa abu di ujung rokok.

“Kalau begini gimana, besok pagi saya yang akan matur ke pak Ustadz”.
 
“Kalau sampean bersedia, bagus itu Jo”, sela Ahmad.
 
“Sampean sendiri gimana, Man? Endak keberatan toh, seandainya Warjo yang menyampaikan masalahmu itu ke pak Ustadz”, tanya Ahmad pada mbah Giman.
 
“Ya..., ndak masalah”, jawab Giman singkat.
 
“Ya sudah! Apa yag harus saya sampaikan ke pak Ustadz”.
 
“Begini, Jo!”, respon Giman menanggapi usulan Ahmad.

Giman lekas menata posisi; ‘bersandar’, dan berulang kali mengaduk-aduk gelas di depannya, nampak berusaha mencapur sesuatu; gula dan kopi. Sekalipun ia sadar, gula sudah larut sejak beberapa saat sebelumnya. Bahkan sejak air panas, untuk pertama kalinya, menyentuh dasar gelas. Begitulah Giman, hanya gaya berinteraksi.
 
Seperti Giman, Ahmad dan Warjo juga tengah menikmati segelas kopi kesukaannya. Bedanya, kedua karib Giman ini, selain penikmat kopi juga pecandu rokok kelas berat. Sementara Giman, hanya penikmat kopi, tanpa rokok. Dan saat itu, Giman mulai berkisah.
 
“Oalah.., Cuma itu toh. Ya besok saya tak coba tanya ke pak Ustadz”, tegas Warjo begitu Giman mengakhiri ceritanya.
 
“Ya wis, saya tunggu hasilnya”, saut Giman.

***
Halaman rumah dengan cat putih itu cukup teduh. Pepohonan yang rindang dan suara gemericit burung piaraan, semakin menambah keteduhan. Sang empunya, oleh penduduk sekitar, biasa di panggil pak haji Qomar atau pak ustadz. “Pembawaannya ramah”, kata para tetangga. Sementara yang lain menimpali, “O ya.., pak Ustad itu juga murah senyum, loh!”. Satu sama lain saling menyaut, sementara yang diam hanya mengamini. Demikianlah, setiap kali penduduk kampung membicarakan sosok ustadz Qomar. Dan pagi yang teduh, mengantarkan Warjo menuju kediaman pak Ustadz.

(Baca juga: Amanah dan Sepenggal Hikayat)
 
“Silahkan masuk pak Warjo”, sambut pak Ustadz. Setelah keduanya saling bertukar kabar, Warjo langsung mengutarakan maksud kedatangannya.
 
“Itu loh pak Ustadz, Giman”. 
“Ada apa dengan pak Giman?”, sela pak Ustadz.
 
“Mohon maaf sebelumnya, begini pak Ustadz..”. Warjo langsung berkisah perihal kemasghulan Giman, mulai dari rencana hajatan yang menutup akses jalan raya, hingga alternatif yang bisa di tempuh, menyewa gedung serba guna, yang sebenarnya cukup riskan terwujud; mengingat jarak yang jauh dan harga sewa, termasuk katring, cukup mahal. Dan kehadiran Warjo kali ini, bukan hanya meminta nasihat, tapi mencari solusi mengenai kegalauan Giman. Karena yang di datangi pak ustadz, tentu yang dituju penyelesaian masalah menurut hukum Islam (fiqh). Kira-kira begitu. 
 
“Begitu ya, pak Warjo..”. Belum sempat Warjo menimpali, pak ustadz kembali melanjutkan omongannya.

“Dilematis..”, imbuhnya. Pak ustadz nampak nampak serius, tapi dengan gaya tetap rileks, begitupun dengan Warjo, terus memperhatikan dan sesekali membubuhkan coretan di selebar kertas. 
Disaat yang sama, pak Ustadz mendadak bangkit, masuk kedalam dan tak berapa lama kembali dengan membawa beberapa buku atau tepatnya, kitab. Dan meletakkannya di atas meja. “Maaf ya pak Warjo, mau saya cari dulu jawabannya. Saya kok agak ragu!”, pinta pak Ustadz. 
Pak Warjo hanya mangut-mangut, mengiyakan permintaan pak Ustadz. “O ya, silahkan kopinya di minum”, kata Pak Ustadz kepada Warjo. 
“Begini pak Warjo..”, suara pak Ustadz membangunkan lamunan Warjo. Ia lekas konsentrasi, kembali mengambil bolpoint dan selembar kertas; bersiap menuliskan sesuatu yang ia dapat. Sementara pak ustadz terus membolak-balik buku-buku di depannya. Sekalipun tak begitu mudheng, Warjo cukup lanyah mengeja nama buku-buku itu—diantaranya dan yang terus di amati pak ustadz—adalah, Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah dan Hasyiyah Al-Jamal ala  Al-Minhaj. “Keduanya seperti kitab babon pak ustadz, tapi entahlah”, gumam Giman. 
“Cukup dilematis..”, pak ustadz kembali mengulangi perkataanya dan kemudian mulai bertutur. Dalam penuturannya, ustadz Qomar menyatakan jika masalah itu, menutup jalan raya untuk keperluan tertentu, prinsip dasarnya di perbolehkan.  
 
Dalam kesempatan itu, pak ustadz menegaskan, kemaslahatan umum (marafiq al-ammah) yang dalam kondisi tertentu, terjadi interaksi banyak orang, sejatinya di perbolehkan apabila terdapat kemanfaatan. Termasuk juga dalam pemanfaatan fasilitas umum, seperti kasus pak Giman. “Ingat, yang perlu di perhatikan..!”, tegas pak Ustadz yang justru membuat Warjo bersemangat.
“Tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”, lanjutnya mengutip sebuah hadits.
Pemanfaatan fasilitas umum itu, jika tidak menimbulkan keresahan atau dalam bahasa lain, membahayakan (madlorot). Jika hal itu sampai terjadi, tentu tidak boleh, “Karena bagaimanapun suatu tindakan yang dapat membahayakan orang lain, tidak di benarkan”, tutur pak Ustadz memberikan alasan. “Tidak membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain”, lanjutnya mengutip sebuah hadits.

“Solusinya bagaimana, Ustadz?”, sergah warjo.
 
“Lah itu...”, pak Ustadz menimpali. Kemudian kembali menuturkan, katanya, yang terjadi di lapangan bagaimana. Jika sampai mengganggu pengguna jalan atau bahkan sampai terjadi kecelakaan yang di picu pemblokiran jalan, tentu tidak boleh dan harus mencari solusi, misalnya, gedung serbaguna, sekalipun terlampau jarak yang jauh. Jika masih tetap memaksa, pihak penyelenggara harus menjamin keselamatan pengguna jalan dan tentunya, “Perlu melewati prosedur perizinan dari pihak terkait”, tandas pak Ustadz dan kemudian ia mengutip satu keterangan, menurutnya: “Mengesampingkan dampak negatif (mafasid) dan mendahulukan yang positif (masolih)”.

“Mengesampingkan dampak negatif (mafasid) dan mendahulukan yang positif (masolih)”.
Penjelasan pak Ustadz cukup membuat Warjo tenang hati. Setidaknya beban yang menggelanyut di pundaknya telah terselesaikan, tinggal satu hal yang perlu ia lakukan, menyampaikan hasil pertemuan ini pada Giman, secepatnya. Usai kembali berbincang-bincang ringang, Warjo menyampaikan pamit, “Terima kasih pak ustadz, maaf sudah merepotkan, saya pamit pulang dulu”, katanya seraya berdiri dan menyodorkan tangan. Dan keduanya pun berpisah. 

Rabu, 16 Maret 2016

Amanah dan Sepenggal Hikayat

Amanah dan Sepenggal Hikayat



~Man la Wafa’a fihi, la Dina lahu. Seorang tak menepati janjinya, berarti tak beragama.

Menara bel Gereja San Fernando nampak begitu jangkung, membelah langit kota San Antonio. Di ujung menara, pada 23 Februari 1836, seorang pria tegap berdiri mematung, hampir tiga jam lamanya. Tepat di depannya, hamparan panjang horizon barat, terus ia amati. Sosok gempal itu, melakoni tugas saban hari tanpa pamrih: penuh kepatuhan. Ia adalah Daniel William Cloud, atas titah James Bowie dan William Barret Travis. Kepatuhan Cloud atas dasar sederhana; Amanah.

Kisah serupa terjadi ratusan tahun silam, sebelum Daniel Cloud mengawali—perjalanan—sejarah heroik pertempuran benteng Alamo. Dan tak kalah pilu saat Travis mulai mencium bau mesiu yang bercampur darah. Kisah ini, dalam catatan kemudian, di kenal sebagai epik sejarah Arab badui. Sejarah tentang bangsa-bangsa, yang dalam banyak redaksi, di nilai tenggelam dalam peradaban luhur. Sebagai bangsa yang terus di kerdilkan, klan (Arab) Badui, tak jarang, telah menampilkan epik kehidupan yang lebih luhur, melewati fase kehidupan moderen. Satu keputusan yang di tempuh, dalam auto-kritiknya, bahwa ia telah membuktikan janjinya; Amanah.

Seorang pembelajar –dalam buku yang tak begitu dikenal, Irsyad al-Mu’minin ila Sirati Sayyid al-Mursalin, merangkai kisah Arab badui ini dengan demikian apik. Bahkan, dengan sendirinya, penulis buku ini berhasil meyakinkan khalayak ramai, jika potongan-potongan sejarah Arab badui tak selamanya lekat dengan kegelapan, kejumudan dan bahkan, tak berperadaban. 

(Baca juga: Berhijrah Sebelum Terlambat

Dalam buku tersebut, kisah ini bermula tatkala lawatan Arab badui ke suatu negeri. Kebetulan penguasa setempat tengah memberlakukan aturan tak lazim. “Siapapun yang bertandang ke negeri ini, di saat tertentu, dia akan dibunuh”, demikian kira-kira aturan di negeri tersebut. Dan tak di nyana, Arab badui datang di saat aturan tengah berlaku. Ia tak bisa mengelak, begitu memasuki tapal batas, sekawanan penjaga menjadikannya sebagai tawanan. Selang beberapa waktu, ia di hadapkan kepada paduka raja.  

Nu’man ibn Mundzir, seorang petinggi kerajaan, kembali menegaskan jika di negerinya tengah berlaku aturan turun-temurun. Siapapun yang datang di waktu tersebut, satu pilihan untuknya: hukuman mati. Raja mengamini perkataan Mundzir, di hadapan Arab badui,  lekas ia tandaskan hal ini. “Engkau datang di saat aturan berlaku selama puluhan tahun, engkau akan di hukum pancung dan tidak ada cela untuk melarikan  diri”, tandas baginda pada tamunya.

Si badui tak bergeming, sejenak kemudian ia mulai bangkit; memikirkan sesuatu. Dan tak lama setelah itu, ia mulai berdiplomasi.

“Jika itu yang baginda inginkan, baiklah! Tapi perkenankan hamba menemui sanak keluarga, menyampaikan salam perpisahan. Aku berjanji setelah ini akan kembali”, pinta Badui.

Semula baginda tak begitu saja percaya. Ia was-was si Badui bakal tak kembali. Beruntung beberapa kolega baginda mengenal baik si Badui, diantaranya Syarik ibn Ady, pejabat sekaligus orang kepercayaan baginda. Dalam pertemuan itu, Syarik mencoba berunding dengan baginda. “Para menteri mengenal baik kepribadian si Badui, ia di kenal kejujurannya dan selalu menepati janji. Percayalah pada omongannya, ia bakal kembali, menanggung resiko yang telah di perbuat”, tandas syarik.

Syarik memang pandai berdiplomasi. Sikap baginda yang semula kukuh, kini mulai melunak; baginda merestui si Badui menemui sanak keluarga, menyampaikan salam perpisahan.

“Baiklah aku persilahkan kau menemui keluargamu’, tegas baginda.

“Dan kamu ‘amir (menteri), perlu kalian ingat! Andai si Badui tidak menepati janjinya, maka kalian yang menjadi penggantinya. Aturan harus tetap di tunaikan”, gertak baginda di hadapan para menteri. Mendadak wajah para menteri pucat-suram, terasa getir dan nampak gamang. Tapi mereka tak bisa mengelak, bagaimanapun keputusan ini harus di terima.

Pertemuan yang lebih dramatis terjadi antara si Badui dan sanak-keluarga. Lekas ia ceritakan peristiwa yang tengah menimpanya, hingga pada satu kesimpulan, umurnya tinggal menghitung waktu. Dalam pertemuan yang cukup singkat, si Badui berkisah, “Aku telah kembali, tapi dalam waktu dekat aku bakal menerima hukuman; pancung. Dan aku harus menerima, sebagai bentuk kepatuhan dan menunaikan janji yang telah terucap”, tutur si Badui. Sanak keluarga tak dapat berbuat banyak, hanya bisa pasrah dan melepas kepergian si Badui dengan penuh kesedihan.
Dalam keputusannya, si Badui menyadari, ia hanya rakyat kebanyakan, sementara sang pemangku kebijakan telah menetapkan keputusan. Tak bisa di tawar.
Hamparan padang pasir mengantarkan kepergian Arab badui. Dalam keputusannya, si Badui menyadari, ia hanya rakyat kebanyakan, sementara sang pemangku kebijakan telah menetapkan keputusan. Tak bisa di tawar. Tapal batas kerajaan lamat-lamat mulai terlihat, segera begitu memasuki batas wilayah ia di sambut beberapa juru hukum, perutusan menteri kerajaan. Tanpa membuang waktu, lekas di hadapkan kepada baginda.

“Engkau sungguh bernyali”, hibur baginda.

“Dasar apa  hingga engkau benar-benar memenuhi janjimu, sekalipun janji yang bakal membuatmu celaka”. Baginda nampaknya masih belum percaya, baru kali ini terdakwa di kursi pesakitan terlihat begitu tegar, tak sedikit pun nampak kehawatiran.

(Baca juga: Belenggu Ngunduh Mantu)

“Agamaku”, jawab Badui singkat.

Mendadak suasana hening. Para menteri, cerdik-cendikia dan pembesar kerajaan begitu tertegun dan sesekali, saling tukar pandangan satu sama lain. Suasana cukup tenang, hingga si Badui kembali melanjutkan omongannya. “Seorang tak menepaati janjinya, berarti tak beragama”, terang Arab badui memastikan alasan kedatangannya.
“Seorang tak menepaati janjinya, berarti tak beragama”
Jawaban si Badui seperti cambuk yang menelusup hingga sanubari, baginda nampak begitu tertegun, penuh penyesalan; insaf. Ia menyadari kebijakannya selama puluhan tahun tidaklah benar.  Berawal dari pertemuan itu, baginda menghapus semua kebijakan dan peraturan tak lazim dari negerinya. Dan Arab badui, ia di bebaskan tanpa syarat.

Arab badui telah membuktikan janjinya. Ia telah menanggalkan segenap kepalsuan dan memastikan akan satu hal; Amanah.

16 Maret 2016