Selasa, 05 November 2019

Maulid dalam Implementasi Kultural

Maulid dalam Implementasi Kultural

Maulid nabi adalah momen kebangkitan. Seperti momen (baca: ritual) keagamaan pada umumnya, momen satu ini telah mengajarkan tentang kepasrahan, nasihat dan yang lebih penting—termasuk yang membedakan dengan lainnya—mengajarkan keteladanan antara ‘kita’ sebagai umat dan ‘dia’ sebagai pemberi syafaat. Pemahaman ini bukan saja berdasarkan dalil yang terbentang luas, tapi yang tidak bisa diabaikan adalah, dalam maulid kita di ajarkan untuk saling mengasihi, mengenal, dan mejaga kerukunan antar sesama. 

Kamis, 11 Juli 2019

Islam Indonesia: Inspirasi Bagi Perdamaian Dunia

Islam Indonesia: Inspirasi Bagi Perdamaian Dunia


“Kita perlu memperkenalkan ke publik Jerman, corak dan warna Islam yang lain. Islam tidak identik dengan etnis tertentu. Islam yang dipraktikkan masyarakat Indonesia adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu menjadi pelopor toleransi di tengah ratusan kelompok etnis atas suku bangsa yang sangat beragam”.

Selasa, 25 Juni 2019

Islam dan Revisitasi Makna Persatuan

Islam dan Revisitasi Makna Persatuan

Isu tentang persatuan dan kesatuan, belakangan menjadi salah satu topik yang cukup populer, setidaknya dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir. Fenomena ini—disadari atau tidak—buntut dari ketegangan-ketegangan (tensions) yang terus mengemuka, lebih lagi ketika bersinggungan dengan paham keagamaan dan representasi politik. Bisa dipastikan, persoalan yang sepele sekalipun bakal berbuntut panjang.

Kecenderungan tersebut kian nyata manakala masyarakat mudah tersulut isu-isu murahan, yang—sampai sejauh ini—kerap kali tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Beruntung, sejatinya kita punya pengalaman mengatasi persoalan ini, yakni dengan merawat nilai-nilai persatuan dan persaudaraan antar sesama. Dalam Islam sendiri, keduanya di yakini menjadi salah satu instrument penting dalam menampilkan wajah Islam yang sebenarnya: santun, ramah, dan tidak marah-marah.

Oleh karena itu, sebagai agama rahmat bagi semesta, Islam telah merumuskan bagaimana merawat simpul-simpul kebinekaan ini agar lebih mudah dipahami. Tujuannya tak lain, dapat mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dari dan untuk semua elemen masyarakat.

Persatuan dalam Islam
Menelusuri entitas persatuan dalam Islam, kita dapat menemukannya dalam beberapa sumber sekaligus, yang satu sama lain tentunya saling berkelindan. Dalam al-Qur’an, pesan ini tersirat dalam QS. Ali Imran [03]: 103 yang menegaskan, bahwa bagi segenap orang yang beriman di haruskan untuk berpegang pada tali Allah swt. dan untuk tidak tercerai-berai dalam persaudaraan. Dikalangan ulama (mufassir), ayat ini dipahami dengan beragam pengertian, sekaligus menyimpan makna yang berbeda (multitafsir).

Dalam Tafsir Al-Maturidi misalnya, sahabat Abd’ Allah Ibn Masud menafsiri kata “Hablu Allah” (tali Allah swt.) dengan makna persatuan (Al-Jama’ah), yang artinya berupa perintah untuk meneguhkan persatuan dan menjauhi perpecahan. Pendapat tersebut di kutip oleh beberapa ulama, misalnya, Abu Ja’far Al-Thabari (w. 310), Abu Hayyan Al-Andalusi (w. 745), dan Abu Hasan ibn Muhammad Al-Mawardi (w. 450).

Dalam komentarnya, Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333) menegaskan, keharusan menjaga persatuan karena tipikal seorang muslim (ahl al-Islam) tak lain dengan menjaga persatuan (al-Jama’ah), dan mencegah perpecahan. Hal ini selaras dengan pesan dalam QS. Al-An’am [06]: ayat 153, bahwa kita diharuskan mengikuti jalan yang lurus dan tidak sebaliknya, jalan yang dapat mencederai persatuan. Demikian ini perintah Allah swt. agar menjadi manusia yang bertakwa.

Komentar (syarh) yang lebih dialogis dapat ditemukan dalam—diantaranya—kitab Tafsir Al-Mawardi, bahwa larangan tercerai-berai antar sesama tidak lepas dari dua penafsiran: pertama, keharusan menjaga persatuan dalam meneguhkan (ajaran-ajaran) agama. Dan kedua, bersatu dalam meneladani pesan-pesan kenabian Muhammad saw. Penafsiran ini, berdasarkan artikulasi persatuan dalam konteks keberagamaan. Sementara dalam bingkai keindonesiaan lain lagi, yakni upaya merajut tenun kebangsaan dan merawat elan-elan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perbedaan penafsiran ini, tak lain lahir dari ekspresi pemikiran para ulama yang mendasarkan pada analisa dan kerangka berfikir yang berbeda, sehingga menghasilkan rumusan yang berbeda pula. Namun setidaknya mereka sepakat akan satu hal, bahwa perbedaan adalah benalu dalam mewujudkan persatuan dan persaudaraan. Menurut Syamsuddin Al-Qurtubi (w. 671), perbedaan yang tak di benarkan ialah yang berpotensi pada perpecahan dan kehancuran.

Komentar serupa di kemukakan oleh KH. Hasyim Asyari (w. 1366) dalam bukunya Al-Tibyan fi Al-Nahyi an Muqatha’ati Al-Arham wa Al-Aqarib wa Al-Ikhwan, bahwa perpecahan adalah faktor utama dari kelemahan, kekalahan dan kegagalan sepanjang zaman. Bahkan tidak hanya itu, potensi lain dari perpecahan ialah terjadinya chaos, yang merusak tatanan kehidupan berbangsa dan timbulannya kehancuran yang tak bisa di hindari.

Oleh karenanya, lanjut kiai Hasyim dalam Muqaddimah Qanun Al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, berapa banyak bangsa-bangsa besar yang hidup makmur, pembangunan merata, kemajuan terasa hingga pelosok negeri, dan pemerintahan berjalan dengan baik, tidak lain berkat terjalinnya persatuan dan kesatuan antar semua element masyarakat. Karenanya, sebagai bagian sunnatullah, manusia selalu hidup berdampingan dan berinteraksi dengan yang lainnya. Sehingga persatuan adalah sebuah keniscayaan!

Pada akhirnya, perbedaan agama, ras, bahasa, atau bahkan afiliasi (pilihan) politik, bukan lagi menjadi legitimasi untuk mengabaikan persatuan. Dan karenanya, Islam mewanti-wanti pentingnya menghargai perbedaan dan merawat persaudaraan. Dalam sepenggal hadis dlaif riwayat Al-Qadha’i ditegaskan, “Persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab”. Wallahu a’lam.

Artikel ini pertama kali dimuat di jalandamai(dot)org

Kamis, 02 Mei 2019

Gerakan #AyoHijrah, Upaya Bank Muamalat Sejahterakan Umat

Gerakan #AyoHijrah, Upaya Bank Muamalat Sejahterakan Umat


Suatu kali, kira-kira di pertengahan tahun 2008, adalah titik awal perkenalan saya dengan bank Muamalat. Kala itu, saya yang masih berstatus santri di salah-satu pesantren di kota Kediri, memang diharuskan membuat kartu identitas, yang kebetulan dalam penerbitannya, pihak pesantren telah menjalin kerjasama dengan bank Muamalat.

Jumat, 19 April 2019

Cara Pintar Berbagi di Era Digital

Cara Pintar Berbagi di Era Digital


Pada hakikatnya berbagi bisa kapan dan di mana saja, apalagi sekarang hidup di era digital, pastinya untuk urusan satu ini semakin di mudahkan, dari dan untuk siapapun. Semangat untuk berbagi ini, tidak lain luapan—meminjam ungkapan Ali Ahmad Al-Jurjani dalam kitab Tarikh al-Tasyri’ wa Falsafatuhu­—dari upaya menjauhi tindakan terlampau hemat (kikir/lokek) dan mewujudkan kesejahteraan umat (Al-Bu’du an al-Bukhl wa Iradah Islah al-Ummah).   

Kamis, 06 Desember 2018

Imam Syafi'i dan Syair Penggugah Jiwa

Imam Syafi'i dan Syair Penggugah Jiwa

 
Untaian bait-bait syair berikut ini, kalau tidak salah, gubahan Imam Syafi’I ra., yang begitu menggugah jiwa dan memotivasi siapapun yang tengah di rundung pilu dan terkungkung dalam kegalauan hidup. Oleh karena itu, saya sengaja menuliskan syair-syair ini, barangkali suatu saat perlu mengingatnya kembali.

بقدر الكـد تكتسب المعالى # فمن طلب العلى سهر الّيالى
Derajat mulia diukur berdasarkan usahanya # Siapapun yang hendak menggapainya, maka bersiaplah (di malam hari) untuk selalu terjaga

ترُومُ العِــزّ ثم تَنامُ لَيـلا # يغوصُ البحْر من طَلَب اللآلي
Engkau mengharapkan kemuliaan, sementara di malam hari (hanya)
dihabiskan untuk tidur! # Ingatlah (anak muda), untuk mendapatkan mutiara
harus menyelam hingga dasar lautan

علو الكعب بالهمم العوالي #  وعز المرء في سهر الليالي
Luhurnya derajat/kedudukan, karena tujuan yang mulia # Dan kemuliaan (derajat) seseorang, karena ia terjaga (untuk beribdah dan belajar) di waktu malam

فلا تفرغ من الاهوال يوما # اذا كنت في طلب المعالى
Jangan membuat harimu dengan kehawatiran/ketakutan #
Jika engkau hendak meraih derajat mulia/terhormat

ومَنْ رامَ العُلى مِن غَيرِكَـدٍّ  # أضَاعَ العُمرَ في طَـلَبِ المُحَالِ
Seorang yang mengharapkan derajat mulia, sementara ia tidak (mau) berusaha #
Celakalah! Sesungguhnya usianya telah terbuang sia-sia, untuk meraih sesuatu yang mustahil.

Catatan:
Dikutip dari kitab Ahla Al-Musamirah fi Hikayat Al-Aulia Al-Ashrah  Karya Al-Syaikh Al-Alim Al-Fadhil Abi Fadhal Al-Senari (Tuban, Jawa Timur)